Jaksa Agung Tegaskan Pakai Hati Nurani, Oppung 80 Tahun Ini Dituntut 3 Bulan karena Curi Buah Sawit
Sebab, Jaksa Agung ST Burhanuddin menekankan para jajarannya untuk menjaga integritas dalam bertugas.
Penulis: | Editor: Firmauli Sihaloho
TRIBUNPEKANBARU.COM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Simalungun, Juna Karo Karo menuntut pidana penjara percobaan selama tiga bulan terhadap terdakwa Esterlan Sihombing, nenek berusia 80 tahun yang dijerat kasus pencurian buah sawit di bekas ladangnya.
Tuntutan ini dibacakan jaksa dari Ruang Tirta Pengadilan Negeri Simalungun, Senin (21/9/2020).
"Bahwa terdakwa terbukti bersalah, karena lahan sawit tersebut bukan lagi milik terdakwa, tetapi milik Edy Ronal Simbolon, karena lahan sawit tersebut telah dijual oleh Rotua Simbolon (anak terdakwa) kepada Edy Ronald Simbolon," kata jaksa.\
Tuntutan ini menjadi sorotan.
Sebab, Jaksa Agung ST Burhanuddin menekankan para jajarannya untuk menjaga integritas dalam bertugas.
Dalam kunjungannya ke Benua Etam, Kalimantan Timur, Sabtu (8/8/2020) lalu misalnya, Burhanuddin menekankan kepada anak buahnya untuk mengawal program pemerintah dalam refokusing anggaran penanganan Covid-19.
“Kita punya tugas berat. Melakukan pendampingan refokusing (anggaran). Kita mendukung, mempercepat penanganan Covid-19,” katanya melansir Tribun Kaltim.
Hal itu diungkapkan Burhanuddin saat menghadiri acara Ground Breaking pembangunan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim di Samarinda.
• 5 Kali Kemalingan Tak Pernah Diungkap Polisi, Hasanah Pilih Lapor RT & Share Rekaman CCTV di Medsos
• Suami Nekat Belah Perut Istrinya yang Hamil Tua, Nggak Pengen Dapat Anak Perempuan Lagi
• Pilih Bersihkan Kuburan atau Pakai Masker? Puluhan Warga Pilih Bersihkan Kuburan, Jangan Dicontoh
Burhanuddin juga menyinggung tentang surat edaran yang telah dibuat agar penuntutan didasarkan rasa keadilan. Sehingga, tak ada lagi tuntutan yang tak sebanding dengan perbuatan.
“Saya tidak menghendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan. Tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP. Tidak ada dalam KUHAP. Tapi ada dalam hati nurani kalian.
Camkan itu. Saya sudah terbitkan surat edaran itu.
Camkan dan patuhi itu. Saya tidak menginginkan, nanti ada rakyat pencari keadilan atau apapun yang dilukai kalian.
Tidak ada lagi yang mengambil batang kayu sebatang, kalian pidanakan. Kalau kalian melakukan itu, kalian yang saya pidanakan,” tegasnya.
• Berlaku Mulai Besok, Ini Pembagian Kuota Internet Kemendikbud untuk Siswa, Mahasiswa hingga Guru
• VIDEO: Misterius, Makam Ibu Muda Dibongkar, Kain Kafan Raib Dari Liang Kubur
• Promo Pekan Ini Beli Mobil di Pekanbaru, Nissan Terra Hadir dengan Kamera 360 Derajat MOD
Esterlan Tak Terima
Mendengar tuntutan ini, wajah keriput Esterlan Sihombing terlihat murung.
Ia merasa keberatan. Ssebab tanpa sepengetahuannya, tanah itu dijual sang anak kepada Edy Ronald Simbolon.
Ia pun tak pernah mencicipi hasil penjualan ladang yang dilakukan putri keduanya itu kepada orang lain.
Karena itulah, ia merasa panen sawit yang dilakukannya sah-sah saja.
"Saya tak bersalah, karena saya panen sawit di tanah saya," ujar nenek dengan bahasa Batak kepada jaksa.
Selama menjadi pesakitan di usia tua, Esterlan Sihombing berjalan menggunakan tongkat, seraya dibantu cucu dari anak pertamanya bernama Nurmala Marbun.
• Saat Ekonomi Rakyat Babak Belur,DPRD Sumut Rapat di Hotel Mewah Habiskan Rp 2,5M:Mewakili Siapa Pak?
• Apa Obat Batuk Alami? Cara Menghilangkan & Meredakan Batuk Pakai Bahan Alami
• Arti Al Ahad, Nama-nama Allah SWT, Lengkap dengan Penjelasan 99 Asmaul Husna
Di kediaman cucunya itu pula Esterlan menyambung hidup di Desa Nagori Jawa Baru, Kecamatan Huta Bayu Raja, Kabupaten Simalungun.
Esterlan sendiri mengaku sudah dua tahun belakangan mengonsumsi obat sakit kepala. Hal ini juga dibenarkan oleh cucunya.
"Obatnya nenek itu pereda sakit kepala. Biasanya satu pil itu bisa diminum dua minggu sekali," ujar Nurmala melansir Tribun Medan.
Sementara itu, Parluhutan Banjarnahor, penasihat hukum nenek Esterlan Sihombing menyampaikan akan mengajukan pembelaan pada 30 September 2020 mendatang.
"Kita selaku kuasa hukum nenek Esterlan berharap nanti pada saat putusan, majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya," ujar pria yang sering disapa Prima.
Ia kembali menjelaskan, status ladang tersebut sedang dalam status sengketa di Pengadilan Tinggi Medan. Oleh sebab itu, Esterlan tak layak diadili dalam kasus pidana.
"Makanya kasus ini seakan dipaksakan oleh Polsek Tanah Jawa dan kejaksaan. Sebab tanah yang berdiri sawit itu masih dalam sengketa di Pengadilan Tinggi Medan," ujar Banjarnahor.
Dengan demikian, ujar Banjarnahor, sebelum adanya keputusan hukum dari kasus perdata itu, seharusnya Nenek Esterlan tidak bisa diadili dalam dugaan tindak pidana pencurian kelapa sawit.
Kasus ini bermula saat Esterlan Sihombing memanen buah sawit di sebuah ladang pada April 2019.
Saat itu ia tak tahu bahwa ladang dan tempat rumahnya berdiri telah dijual oleh putrinya, Rotua Simbolon kepada seseorang bernama Edy Ronald Simbolon.
Edy Ronald Simbolon mengaku mengalami kerugian Rp 2.910.000 setelah 3 ton sawitnya diambil oleh orang suruhan Nenek Esterlan.
Parluhutan menjelaskan, penjualan tanah ini tak jelas. Sebab jual beli tanah hanya kwitansi dan tidak ada saksi, termasuk Esterlan sendiri.
Namun, sambung Parluhutan, kepolisian mengklaim bahwasanya tanah tersebut sah milik Ronald.
Adapun Nenek Esterlan hingga kini mengaku tak menerima uang penjualan tanah miliknya itu.
Di persidangan sebelumnya, saksi Lambok Putra Sinaga selaku Kepala Dusun III, Nagori Jawa Baru, Kecamatan Huta Bayu Raja, menyebutkan bahwa, sepengetahuannya tanah di mana berdiri tanaman sawit itu adalah kepunyaan Nenek Esterlan.
Ia menyampaikan, sawit itu sendiri ditanam Esterlan dan almarhum suami, Jalongin Simbolon.
(Alj/tribun-medan.com)
