Sidang Perdana Bupati Kuansing Nonaktif
BREAKING NEWS: Sidang Perdana Bupati Kuansing Nonaktif, Dugaan Suap Perpanjangan Izin HGU Sawit
Bupati Kuansing nonaktif, Andi Putra, menjalani sidang perdana terkait kasus dugaan suap pengurusan perpanjangan izin HGU kebun sawit PT AA
Penulis: Rizky Armanda | Editor: Nurul Qomariah
Sehingga ada beberapa Kepala Desa, antara lain Kepala Desa Sukamaju dan Beringin Jaya, Kabupaten Kuansing, yang meminta agar PT AA juga membangun kebun kemitraan/ plasma di wilayah desa tersebut.
Karena PT AA belum membangun kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen di sekitar lokasi kebun yang ada di wilayah Kabupaten Kuansing.
Atas permasalahan tersebut, PT AA berniat untuk tidak perlu membangun kebun kemitraan/ plasma lagi di wilayah Kuansing karena telah membangun paling sedikit 20 persen kebun kemitraan/ plasma di Kabupaten Kampar.
Namun oleh Muhammad Syahrir, dijelaskan bahwa kewenangan menentukan lokasi kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen dari total HGU ada pada Bupati Kuansing.
Selanjutnya Muhammad Syahrir selaku Ketua Panitia B mengarahkan PT AA untuk meminta surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa Andi Putra selaku Bupati Kuansing tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/ plasma di Kabupaten Kampar yang sudah ada sebelumnya.
Surat rekomendasi persetujuan tersebut diperlukan sebagai kelengkapan dokumen pengajuan perpanjangan HGU PT AA.
Karena Sudarso sudah lama mengenal terdakwa, bahkan sejak terdakwa masih menjadi anggota DPRD Kabupaten Kuansing, maka dalam rangka mempermudah terbitnya surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa, Sudarso melakukan pendekatan baik melalui komunikasi telepon maupun datang langsung menemui terdakwa.
Pada bulan September 2021, bertempat di rumah Sudarso di Kota Pekanbaru, terjadi pertemuan antara terdakwa dengan Sudarso.
Pada pertemuan tersebut, terdakwa menyampaikan akan menerbitkan surat rekomendasi persetujuan. Namun terdakwa meminta PT AA memberikan uang terlebih dahulu sebesar Rp1,5 miliar.
Atas permintaan tersebut, kemudian Sudarso menyampaikan kepada Frank Wijaya. Ternyata Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang kepada terdakwa dengan cara bertahap.
Pertama, kepada terdakwa diserahkan uang Rp500 juta untuk tahap awal, dengan maksud agar surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa dapat segera keluar.
Atas persetujuan Frank Wijaya, pada 27 September 2021, Sudarso meminta Syahlevi Andra selaku Kepala Kantor PT AA Cabang Pekanbaru, mengantarkan uang Rp500 juta ke rumahnya di Jalan Kartama Gang Nurmalis Nomor 2, RT.002 RW.021, Kelurahan Maharatu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, untuk diserahkan kepada terdakwa.
Setelah uang Rp500 juta diterimanya, Sudarso kemudian memberitahukannya kepada terdakwa.
Selanjutnya terdakwa memerintahkan sopirnya yang bernama Deli Iswanto untuk mengambil uang tersebut dan sekaligus meminta agar uang dititipkan kepada Andri A alias Aan.
Setelah Deli Iswanto sampai di rumah Sudarso, kemudian Sudarso bersama Syahlevi Andra, menyerahkan uang sebesar Rp500 juta tersebut kepada Deli Iswanto.
Atas perintah terdakwa, maka Deli Iswanto kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Andri A alias Aan di rumahnya di Kabupaten Kuansing.
Selanjutnya berselang 2 hari kemudian terdakwa mengambil uang Rp500 juta tersebut di rumah Andri A alias Aan.
Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2021, PT AA membuat Surat Nomor: 096/AA-DIR/X/2021 perihal permohonan persetujuan penempatan pembangunan kebun kemitraan PT AA di Kabupaten Kampar yang ditandatangani oleh Direktur PT AA, David Vence Turangan.
Kemudian surat tersebut diserahkan secara langsung oleh Sudarso kepada terdakwa di rumah terdakwa.
Selanjutnya terdakwa memerintahkan Andri Meiriki untuk meneruskan surat tersebut kepada Mardansyah selaku Plt Kepala DPMPTSPTK (Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja) Kabupaten Kuansing agar segera diproses.
Atas pengajuan surat tersebut kemudian terdakwa meminta kepada Sudarso agar memberikan kekurangannya sebagaimana yang telah disepakati yakni sebesar Rp1,5 miliar.
Oleh karena itu Sudarso kemudian melaporkan permintaan terdakwa tersebut kepada Frank Wijaya. Permintaan tersebut disetujui, yaitu uang kekurangannya yang diminta terdakwa akan diserahkan secara bertahap.
Selanjutnya Sudarso memberi saran kepada Frank Wijaya agar memberikan kepada terdakwa sebesar Rp100 juta sampai Rp200 juta saja, oleh karena PT AA sudah pernah memberikan Rp500 juta sebelumnya dan juga sudah pernah memberikan bantuan saat proses pencalonan terdakwa sebagai Bupati Kuansing.
Atas saran tersebut Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang sebesar Rp250 juta kepada terdakwa.
Pada tanggal 18 Oktober 2021, terdakwa menghubungi Sudarso meminta sisa uang yang telah disepakati sebelumnya.
Untuk itu Sudarso kemudian memerintahkan Syahlevi Andra mencairkan uang sebesar Rp250 juta.
Sudarso bersama Paino dan Yuda Andika, dengan mengendarai mobil Toyota Hilux warna putih, dengan nomor plat BK 8900 AAL datang menemui terdakwa di rumah terdakwa di Jalan Sisingamangaraja Nomor 9 Kuantan Tengah, Kabupaten Kuansing untuk memastikan surat rekomendasi persetujuan dari terdakwa, sekaligus membicarakan mekanisme penyerahan sisa uang yang diminta terdakwa.
Setelah pertemuan dengan terdakwa, bertempat di persimpangan Jalan Abdoer Rauf dengan Jalan Datuk Sinaro Nan Putiah, Sudarso diamankan oleh petugas KPK.
Setelah mengetahui Sudarso diamankan oleh petugas KPK, selanjutnya Frank Wijaya memerintahkan Syahlevi Andra untuk menyetorkan kembali uang sebesar Rp250 juta ke rekening PT AA, yang disiapkan akan diberikan kepada terdakwa.
Bahwa perbuatan terdakwa menerima uang sebesar Rp500 juta dari total Rp1,5 miliar yang disepakati dari Sudarso selaku GM PT AA, dimaksudkan agar terdakwa mengeluarkan surat rekomendasi persetujuan tentang penempatan lokasi kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen di Kabupaten Kampar.
Sehingga PT AA tidak perlu lagi membangun kebun kemitraan/ plasma paling sedikit 20 persen dari luas HGU yang terletak di Kabupaten Kuansing.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.
Andi Putra didakwa dengan dakwaan, Kesatu: Pasal 12 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Atau Kedua: Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Setelah pembacaan surat dakwaan, hakim ketua Dahlan mempersilakan pihak terdakwa, apakah akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan, atau tidak.
Terdakwa melalui tim penasehat hukumnya, sepakat mengajukan eksepsi. Dimana sidang dengan agenda pembacaan eksepsi diagendakan digelar pada Kamis pekan depan.
Untuk diketahui, Sudarso selaku GM PT AA, sudah lebih dulu menjalani proses sidang. Dia bahkan sudah dituntut oleh JPU KPK dengan hukuman 3 tahun penjara.
JPU menilai Sudarso melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tak hanya itu, terdakwa Sudarso juga dituntut membayar denda sebesar Rp200 juta. Dengan ketentuan, jika tidak dibayar maka dapat diganti dengan pidana 3 bulan kurungan.
( Tribunpekanbaru.com / Rizky Armanda )
