Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Perludem Ungkap Borok Big Data yang Kerap Dijadikan Propaganda Para Penguasa

Sebab itu, publik harus berhati-hati dengan klaim sejumlah elit politik di balik penggunaan Big Data untuk menunda Pemilu 2024.

Tribunnews
Presiden Jokowi dengan Luhut Binsar Panjaitan 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Big Data yang dijadikan pedoman para elit politik dalam menggulirkan isu penundaan Pemilu ternyata sudah sering dijadikan para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dan menghilangkan demokrasi.

Sebab, Big Data menggunakan BOT dan perangkat lunak lainnya untuk memanipulasi opini publik melalui platform media sosial.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan juga Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mengklaim jika 100 juta lebih penduduk Indonesia menginginkan penundaan Pemilu 2024. 

Mereka mendapatkan data itu dari Big Data media sosial.

Namun mereka tak berani membuka big data yang dimaksud.

Namun, borok Big Data dikuliti oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi.

Sebab itu, publik harus berhati-hati dengan klaim sejumlah elit politik di balik penggunaan Big Data untuk menunda Pemilu 2024.

Nurul merujuk pada laporan yang dipublikasikan Oxford Internet Institute (2019) bertajuk Global Inventory of Organized Social Media Manipulation.

"Di situ dikatakan bahwa sejak 2019, BOT, algoritma, dan bentuk otomatisasi lainnnya digunakan berbagai aktor politik di berbagai negara, untuk memanipulasi opini publik melalui platform jaringan sosial yang utama seperti Twitter, Facebook, Instagram, juga YouTube," kata Nurul dalam diskusi virtual, Rabu (16/3/2022).

Masih menyitir laporan yang sama, lanjut Nurul, di 26 negara ditemukan bentuk-bentuk propaganda melalui komputasi.

Propaganda itu digunakan sebagai alat kontrol informasi untuk menekan hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, dan menghilangkan perbedaan pendapat.

"Itu 3 cara berbeda tapi tujuannya satu, mengefektifkan dan melanggengkan kekuasaan," ujar Nurul.

Berbagai dalih yang dikemukakan sejumlah elite politik soal wacana penundaan pemilu dianggap hanya pembenaran semata.

"Gelagat yang kita lihat itu semakin memperlihatkan ada nafsu memperpanjang kekuasaan. Karena para elite melihat bahwa pemilu bisa menjadi momentum evaluasi dari kinerja para elite politik yang sebetulnya banyak menghasilkan undang-undang yang tidak demokratis yang banyak ditentang oleh masyarakat bisa menghentikan konsolidasi yang telah terbangun," ungkap Nurul.

"Maka kita melihat ada berbagai alasan yang sama-sama kita dengar, mulai dari ekonomi, pandemi, juga ada klaim dari salah satu menteri yang mengatakan 110 juta rakyat Indonesia setuju pemilunya ditunda," tutupnya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved