Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Google Doodle Sapardi Djoko Damono , Puisi dengan Judul Aku Ingin , Paling Romantis

Inilah bait puisi Sapardi , Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Editor: Budi Rahmat
Gramedia via KOMPAS.com
Penyair Sapardi Djoko Damono dikabarkan meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) pagi ini sekitar pukul 09.17 WIB. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Inilah puasi Sapardi Djoko Damono yang paling dikenal dan banyak dipakai dan diucapkan oleh znak zaman sekarang .

Puisi yang romantis yang biasanya digunakan untuk membujuk rayu . Tentu saja tidak ada yang tak kenal dengan pusi satu ini .

Ya , puisinya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin . Puasi tersebut begitu luar biasa hingga bisa meluluhkan hati sesiapapun .

Dengan baitnya yang sederhana namun begitu dalam . Nah , bagi yang belum tahu atau sekedar mengingatnya

Berikut pusi Aku Ingin Sapardi Djoko Damono

Aku Ingin (1989)

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Penyair Sapardi Djoko Damono hari ini dijadikan sebagai Google Doodle untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-83, Senin (20/3/2023).

Puisi Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu karya sastra yang hingga kini masih digunakan sebagai studi maupun dinikmati secara umum.

Hal ini karena banyak puisi-puisinya yang dinilai romantis sehingga mampu menyentuh hati masyarakat.

Bahkan, banyak puisi Sapardi Djoko Damono yang dijadikan musikalisasi seperti "Aku Ingin" hingga "Hujan Bulan Juni".

Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di usia 80 tahun pada Minggu (19/7/2020).

Berikut kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono.

Pada Suatu Hari Nanti (1991)

Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

Hujan Bulan Juni (1989)

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Yang Fana Adalah Waktu (1978)

Yang fana adalah waktu.
Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.

Duka-Mu Abadi (1969)

Dukamu adalah dukaku.
Air matamu adalah air mataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga ke akhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.

Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguji semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!

Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya 'ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!

Profil Sapardi Djoko Damono

Sapardi lahir di Solo, Jawa Tengah. Ia menghabiskan masa kecilnya di perpustakaan membaca setiap buku yang dan mulai menulis puisi saat bersekolah di SMA Surakarta.

Setelah mendapatkan gelar bahasa Inggris dari Universitas Gadjah Mada, Sapardi belajar sastra Indonesia di jenjang pascasarjana.

Saat bekerja sebagai penyiar radio dan asisten teater, ia mulai menggeluti puisinya lebih serius. Hingga pada tahun 1969, Damono merilis kumpulan puisi pertamanya, "Duka-Mu Abadi".

Pada saat sebagian besar penyair Indonesia berfokus pada refleksi dan gagasan masyarakat, debut terobosan Sapardi mencerminkan kondisi manusia.

Karena kesuksesan buku tersebut, Damano diangkat sebagai guru besar sastra di Universitas Indonesia.

Selain itu, ia juga mendapat penghargaan Anugerah Budaya (Cultural Award) dari Australia pada 1978.

Damono kemudian menulis tiga kumpulan puisi lagi dengan gayanya yang lugas dan introspektif. Ia menerima Penghargaan Penulisan Puisi Asia Tenggara yang disponsori ASEAN pada tahun 1986.

Sapardi juga mendapat Anugerah Puisi Putra dari Malaysia atas bukunya yang berjudul "Sihir Hujan dari Malaysia" pada 1983.

Berniat untuk mempromosikan bentuk seni di seluruh negeri, Sapardi mendirikan Perhimpunan Cendekiawan Sastra Indonesia dan menjabat sebagai ketua untuk tiga periode berturut-turut.

Pada tahun 1994, Sapardi menerbitkan "Hujan Bulan Juni", kumpulan beberapa puisi terbesarnya. Karya ini menginspirasi beberapa musisi untuk membuat komposisi dengan tema serupa.

Universitas Indonesia memilih Sapardi sebagai dekan fakultas dan mengadakan resital puisi pada tahun 2010 untuk merayakan karya hidupnya.

Penghargaan demi penghargaan diberikan kepada Sapardi Djoko Damono, di antaranya Penghargaan Achmad Bakrie untuk Sastra pada tahun 2003 dan Penghargaan Akademi Jakarta pada tahun 2012.

Pada 2018 lalu, Sapardi mendapat penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk bukunya yang berjudul "Hujan Bulan Juni" dan "Yang Fana Adalah Waktu".

Sapardi juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, salah satunya yang paling terkenal adalah "The Old Man and the Sea" karya Ernest Hemingway.

Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di usia 80 tahun pada Minggu (19/7/2020).(*)

( Tribunpekanbaru.com )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved