Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Edukasi dan Mitigasi, Upaya Menjaga Peradaban Gajah Sumatera di Bumi Lancang Kuning

tayangan itu menunjukkan kondisi gajah yang dijumpai tim RSF saat melakukan giat di lapangan. Bahwa terdapat gajah yang mati diracun, dijerat, cacat

instagram/rsf
Conservation Goes to School merupakan program RSF dalam menanamkan sifat mencintai dan menjaga lingkungan sejak dini kepada para pelajar. Program ini digelar di sekolah-sekolah yang berada di area jalur jelajah gajah di Provinsi Riau. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Puluhan sekolah sudah dikunjungi Rimba Satwa Foundation (RSF) sebagai lembaga yang bergerak di bidang konservasi dan pelestarian Gajah Sumatera di Riau sejak tahun 2016.

RSF ingin menanamkan kesadaran dini untuk menjaga keberlangsungan alam dan habitat satwa langka seperti gajah Sumatera. Khususnya bagi pelajar yang bermukim di sekitar jalur jelajah gajah.

Setiap program bertajuk Conservation Goes to School ini digelar, selalu ada pelajar yang menangis.

“Mereka sepertinya terenyuh melihat kondisi gajah melalui video yang kita putarkan. Harapan saya memang seperti itu, agar menimbulkan kecintaan, merasa terpanggil hatinya untuk melindungi gajah,” kenang salah satu Founder RSF, Solfarina.

Bagaimana tidak, tayangan itu menunjukkan kondisi gajah yang dijumpai tim RSF saat melakukan giat di lapangan. Bahwa terdapat gajah yang mati diracun, dijerat, cacat, sakit hingga terusir dari habitat mereka sendiri.

Ada juga tayangan yang memperlihatkan bagaimana gajah itu diusir dan digiring menggunakan mercon. Tak jarang, ledakan mercon itu mengenai kulit gajah dan meninggalkan luka.

“Jadi dalam menjelaskan materi, saya menggunakan teknik Deep Empathy. Dengan teknik ini saya mengajak anak-anak menonton video itu dan menyampaikan apa adanya yang terjadi pada kondisi gajah dan satwa yang dijumpai team dilapangan,” kata perempuan yang pernah berprofesi sebagai guru BK ini kepada tribunpekanbaru.com, Kamis (19/10/2023).

Dengan metode ini, Sofia berharap bisa menimbulkan kecintaan dan terpanggil hatinya untuk melindungi gajah sejak dini. Kesadaran ini penting dibangun pada generasi muda untuk menjaga kelestarian gajah. Sehingga, kelak masyarakat tidak hanya mengetahui gajah dari poster, foto, atau video.

Founder dan Direktur RSF, Zulhusni Syukri menerangkan kenapa program ini menyasar anak-anak usia sekolah dasar, rentang usia 7 sampai 12 tahun.

"Sebab, usia mereka secara psikologis berada dalam tahap operational kongkret, yaitu dimana anak sudah mampu berpikir rasional dan dapat menalar untuk problem solving (pemecahan masalah) secara kongkrit," kata pria Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards Tingkat Provinsi pada tahun 2018 dan 2019 ini.

Maka dari itu, katanya melanjutkan pemahaman akan pentingnya menjaga alam perlu diberikan dan ditanamkan sejak usia dini.

Dalam menyajikan materi, pihaknya menggunakan metode yang menarik dan melalui permainan-permainan yang menyenangkan, dengan harapan memberikan kesan dan menimbulkan kecintaan terhadap apa yang akan disampaikan. Seperti tanya jawab, menggambar dan mewarnai gajah.

"Diharapkan generasi muda yang tinggal disekitaran kawasan hutan akan menjadi duta penyelamat hutan dikemudian hari," harap Zulhusni.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan populasi Gajah Sumatera sebagai satwa yang dilindungi terus menurun. Sepanjang tahun 2023 ini, sudah dua gajah Sumatera yang ditemukan tewas di Provinsi Riau.

Kemudian, KLHK memperkirakan jumlah Gajah Sumatera di habitat aslinya di Riau tersisa hanya 200 hingga 300 ekor. Ironisnya, selama delapan tahun terakhir dilaporkan ada 28 kasus kematian atau 2 hingga 3 ekor pertahun.

Penyebabnya beragam, mulai dari perburuan liar untuk mengambil gadingnya hingga konflik dengan petani sawit karena menganggap gajah sebagai hama.

Anggota Rimba Satwa Foundation (RSF) sedang melakukan Patroli gajah sumatera di Giam Siak Kecil beberapa waktu lalu.
Anggota Rimba Satwa Foundation (RSF) sedang melakukan Patroli gajah sumatera di Giam Siak Kecil beberapa waktu lalu. (istimewa)

Upaya Mitigasi RSF

Selain edukasi, RSF juga gencar melaksanakan upaya mitigasi konflik antara gajah liar dan manusia di kantong populasi di Giam Siak Kecil dan Balairaja. Seperti patroli SMART Rutin, peringatan dini (Early Warning) kepada masyarakat terdampak konflik dan pemasangan GPS Collar.

“Sejak tahun tahun 2018, kita sudah membentuk tim mitigasi konflik ini di 6 desa yang terdampak. Tim ini nantinya memberikan informasi dimana keberadaan gajah dan meyampaikan peringatan jika gajah menuju ke kebun masyarakat tersebut,” kata Zulhusni.

Dengan peringatan ini, masyarakat sudah bersiap di kebun mereka masing-masing untuk melakukan penggiringan kawanan gajah yang hendak melintas.

Seiring perkembangan zaman, RSF melirik pemasangan GPS Collar untuk upaya mitigasi konflik. Dengan berkolaborasi berbagai pihak, RSF mencatat sudah ada 7 unit GPS Collar yang dikalungkan kepada gajah yang tersebar di Riau.

GPS Collar merupakan alat untuk memantau pergerakan gajah liar. Alat ini akan memberi informasi keberadaan gajah liar sehingga konflik dengan manusia dapat dicegah sejak dini.

Sejauh ini, pemasangan GPS Collar berjalan cukup efektif mengurangi interaksi negatif satwa gajah dengan masyarakat sekitar.

Keefektifan alat ini juga terbukti pada studi bertajuk Instalasi dan Studi GPS Collar untuk Gajah Sumatera (Elephas maximus Sumateranus) di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, tahun 2007 dan 2009 karya Wishnu Sukmantoro.

Studi itu menjelaskan GPS Collar digunakan untuk mengetahui pola pergerakan gajah dan daerah jelajah (home range), memetakan lokasi-lokasi gajah saat pengembaraannya dan mengetahui kondisi habitat.

Sehingga alat ini mampu mendorong desain strategi pengelolaan konservasi gajah dan memitigasi konflik yang akan terjadi.

Melansir nationalgeographic.grid.id, Zulhusni menerangkan beberapa proses dalam pemasangan GPS Collar pada gajah. Tim akan melakukan identifikasi gajah yang akan dipasang GPS.

 Utamanya adalah gajah betina dewasa yang menjadi pemimpin klan. Selanjutnya dilakukan pembiusan dan pemasangan GPS Collar pada gajah.

Setelah itu, tim akan terus memantau kondisi gajah hingga pulih dan kembali ke kelompoknya. Dalam pengoperasiannya, alat dengan berat sekitar 21 kilogram ini, akan memberi informasi keberadaan gajah liar melalui sinyal satelit ke receiver.

Saat gajah terdeteksi akan memasuki permukiman atau kebun, tim RSF mengirim informasi tersebut kepada warga melalui telepon atau pesan WhatsApp.

Dengan begitu, warga dapat bersiap untuk melakukan blokade atau pengusiran gajah dengan bunyi-bunyian keras.

(Tribunpekanbaru.com/Firmauli Sihaloho)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved