Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

5 Fakta Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Sudah 36 Kali Digugat

Kini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen.

Editor: Sesri
Kompas.com
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) 


TRIBUNPEKANBARU.COM - Deretan fakta dihapusnya presidential treshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Januari 2025.

Presidential threshold adalah adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai atau gabungan partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. 

Dengan aturan itu, partai atau gabungan partai harus memiliki jumlah suara 20 persen di DPR supaya bisa mendaftarkan presiden dan wakil presiden ke KPU.

Kini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen.

Berikut ini sejumlah fakta terkait keputusan MK menghapus presidential treshold:

Baca juga: Tak Ada Gugatan Hasil Pilkada Kepulauan Meranti 2024 ke Mahkamah Konstitusi

Baca juga: Trend Koalisi Gemuk Pilkada Pasca Putusan MK 2024 Tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah?

1. Diajukan oleh Mahasiswa

Permohonan gugatan untuk menghapus ketentuan ambang batas presidential treshol ini diajukan oleh empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Gugatan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. 

Dalam gugatannya, mereka menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam gugatannya, mereka menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dilansir dari laman resmi UIN Sunan Kalijaga, Rizki, Enika, Faisal, dan Tsalis adalah anggota dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), lembaga otonom mahasiswa di Fakultas Syari’ah dan Hukum.

Merujuk laman penelusuran perkara MK, para penggugat mengajukan gugatan terhadap presidential threshold pada 23 Februari 2024.

2. Dikabulkan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo, saat sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta,

3. Alasan MK Hapus Presidential Treshold

MK memutuskan menghapus presidential threshold karena aturan ini dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.

Selain itu, aturan tersebut juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK dikutip dari laman resmi MK, Kamis (2/1/2025).

Dalam putusannya, MK juga mempertimbangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang berjalan selama ini didominasi partai peserta pemilu tertentu.

MK berpandangan, hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Jika presidential threshold terus dipertahankan, MK khawatir muncul kecenderungan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon.

Selain itu, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi atau terbelah karena hanya ada dua pasangan calon yang maju Pilpres.

Ada juga kemungkinan Pilpres diikuti oleh calon tunggal, seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Hal tersebut berpotensi menghalangi pelaksanaan Polres secara langsung oleh rakyat dan menyediakan banyaknya pilihan capres dan cawapres.

4. Partai Politik Boleh Usung Calon Presiden

Dengan putusan tersebut, MK menegaskan setiap partai politik peserta pemilu berhak mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka sendiri.

Namun yang menjadi catatan, akan ada banyak calon presiden yang bermunculan.

"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," kata Saldi.

Sebab itu, MK menekankan agar pembentuk undang-undang bisa mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak.

Karena pasangan capres-cawapres yang terlalu banyak dinilai bisa merusak hakikat dilaksanakannya pilpres secara langsung oleh rakyat. 

MK memberikan penekanan agar pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, bisa melakukan rekayasa konstitusional dengan berpegang pada lima poin.

Pertama, semua partai politik tetap memiliki hak mengusulkan pasangan capres-cawapres.

Kedua, pengusulan paslon capres-cawapres oleh parpol dan gabungan parpol peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi. 

Ketiga, parpol peserta pemilu bisa bergabung untuk mengusung capres-cawapres sepanjang tidak menjadi "koalisi gemuk" yang menyebabkan terbatasnya pasangan capres-cawapres.

Keempat, parpol peserta pemilu yang tidak mengusung paslon capres-cawapres bisa dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Terakhir, perumusan rekayasa konstitusional harus melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan penerapan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

5. Sudah 36 Kali Digugat

Aktivis pemilu sekaligus pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengapresiasi putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden tersebut.

Dia mengatakan, perjuangan masyarakat sipil dan pegiat pemilu sangat panjang sehingga bisa sampai pada titik ini. Gugatan ini "pecah telur" oleh gugatan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna.

"Ini kemenangan rakyat Indonesia, 36 permohonan menandakan bahwa ambang batas pencalonan presiden memang bermasalah, bertentangan dengan moralitas politik kita," ujarnya.

Titi berharap, dengan putusan ini, seluruh partai politik bisa berbenah dan menyiapkan kader terbaiknya untuk maju menjadi calon presiden 2029.

Selain itu, dia mengingatkan agar DPR berpedoman pada putusan 62/2024 ini dalam merevisi Undang-Undang Pemilu 7/2017.

DPR, kata Titi, jangan coba-coba mengubah putusan MK tersebut, karena masyarakat sipil akan mengawal layaknya putusan MK terkait batas usia calon kepala daerah tahun lalu.

Selain itu, Titi menjelaskan putusan MK yang telah dibacakan bersifat erga omnes, berlaku untuk semua, dan berlaku saat diucapkan, kecuali dalam putusan ada penundaan pemberlakuan yang diucapkan secara spesifik.

Sebab itu, dia berharap agar para pembuat undang-undang, khususnya Presiden Prabowo Subianto, menjadi garda terdepan mengawal putusan ini.

"Kami berharap Presiden Prabowo menjadi yang paling depan untuk menegakkan putusan MK nomor 62 tahun 2024," kata dia.

Sebagian artikel ini tayang di Kompas.com

( Tribunpekanbaru.com )

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved