TRIBUNPEKANBARU.COM - Sejumlah restoran atau kafe kini beralih menggunakan suara kicauan burung maupun aliran air gar terhindar dari tuntutan pembayaran royalti musik.
Namun nyatanya, upaya tersebut rupanya tidak serta merta membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum.
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa penggunaan rekaman suara apa pun tetap mengandung hak terkait yang dilindungi undang-undang.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (4/7/2025).
Ia menjelaskan, meskipun suara tersebut bukan musik yang diciptakan oleh komposer, namun jika bentuknya adalah rekaman fonogram, yang diproduksi oleh seseorang atau perusahaan, maka tetap masuk ke dalam ruang lingkup perlindungan hak terkait, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Namun berapa sebenarnya besaran royalti yang wajib dibayar pemilik usaha jika memutar suara seperti ini?
Tarif Royalti Sudah Diatur Resmi
Ketentuan mengenai besaran tarif royalti ini merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2-OT.02.02 Tahun 2016, yang mengatur tentang struktur tarif royalti bagi pemanfaatan lagu dan/atau musik oleh pengguna komersial, termasuk kafe dan restoran.
Meskipun suara kicauan burung atau alam bukan “lagu” dalam arti umum, jika direkam, diedit, dan dilindungi hak cipta, maka penggunaannya masuk dalam kategori “pemanfaatan karya cipta audio” dan tunduk pada aturan yang sama.
Berikut rinciannya:
*Restoran dan Kafe
- Royalti pencipta: Rp60.000 per kursi/tahun
- Royalti hak terkait: Rp60.000 per kursi/tahun
*Pub, Bar, Bistro
- Royalti pencipta: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
- Royalti hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
*Diskotek dan Klub Malam
- Royalti pencipta: Rp250.000 per m⊃2;/tahun
- Royalti hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun
Pembayaran dilakukan minimal sekali dalam setahun, dan pelaku usaha bisa mengurus perizinan secara daring melalui situs resmi LMKN.
Tarif ini berlaku untuk seluruh bentuk pemanfaatan musik dan rekaman suara di ruang usaha, mulai dari speaker internal, pertunjukan live music, hingga pemutaran rekaman digital.
Dharma menegaskan bahwa penarikan royalti bukan untuk menyulitkan pengusaha, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja kreatif pencipta dan produser.
Hak atas Rekaman
Hak terkait mencakup hak produser rekaman suara (fonogram) dan pelaku pertunjukan atas pemanfaatan hasil karya mereka.
Itu artinya, ketika pelaku usaha memutar rekaman suara, termasuk rekaman alam, mereka wajib menghormati hak produser yang menciptakan rekaman tersebut.
“Ada hak terkait di situ, ada produser yang merekam,” ujar Dharma menegaskan.
Dharma juga menyayangkan adanya narasi menyesatkan yang dibangun sebagian pelaku usaha seolah-olah pemutaran suara alam adalah solusi legal untuk menghindari royalti.
“Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” tambahnya.
Kafe-Kafe Mulai Siasati Aturan
Fenomena “menyiasati” royalti ini juga terlihat di sejumlah kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Salah satu karyawan kafe menyebut, pihak manajemen kini hanya memutar lagu-lagu barat dan musik instrumental sebagai bentuk penyesuaian.
"Jadi, udah mengikuti aturan di sini, cuma gantinya pakai lagu-lagu barat," kata Ririn (nama disamarkan) saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (3/8/2025).
Namun, Dharma menegaskan bahwa musik dari luar negeri pun tetap wajib dibayar royalti.
LMKN telah menjalin kerja sama dengan organisasi hak cipta internasional dan Indonesia juga berkewajiban membayar royalti lintas negara.
“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional,” ujarnya.
Sementara itu, ada pula restoran yang memilih tidak memutar musik sama sekali untuk menghindari risiko pelanggaran.
“Udah enggak pernah nyetel lagi, dari awal udah enggak boleh. Jadi, benar-benar anyep,” kata Gusti, karyawan restoran mie lainnya.
DJKI: Layanan Streaming Pribadi Bukan Lisensi Komersial
Menanggapi fenomena ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham mengingatkan bahwa layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak serta merta memberikan izin komersial.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial,” kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, Senin (28/7/2025).
Dengan demikian, pemanfaatan musik di ruang usaha tetap harus melalui lisensi tambahan melalui LMKN, yang berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti secara kolektif.
Berikut beberapa hal perlu diketahui terkait royalti:
Siapa yang Menarik Royalti?
Penarikan royalti dilakukan LMKN, sebuah lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola dan mendistribusikan royalti dari penggunaan karya musik dan lagu, termasuk rekaman suara seperti ambience atau nature sound yang terdaftar sebagai karya cipta.
Ke Mana Uangnya Masuk?
Uang royalti yang dibayarkan oleh pelaku usaha akan masuk ke rekening LMKN, lalu didistribusikan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menaungi mereka.
Beberapa LMK yang beroperasi di Indonesia, seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia) atau KCI (Karya Cipta Indonesia), bertugas menyalurkan hak kepada pencipta sesuai data dan laporan penggunaan.
Dalam hal suara alam atau kicau burung buatan, pemilik rekaman suara itulah yang berhak menerima royalti, bukan burung aslinya tentunya, melainkan produser rekaman atau pencipta komposisi audio tersebut.
( Tribunpekanbaru.com / Tribuntimur )