TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU -- Beberapa tahun belakangan, warga Pekanbaru tentu masih ingat bagaimana tren minuman kaki lima sempat silih berganti memenuhi pinggiran jalan kota. Mulai dari tebu panggang, cappucino cincau, hingga es kepal Milo, semua pernah viral dan menjamur hampir di setiap sudut kota.
Namun, seperti tren musiman pada umumnya, bisnis-bisnis itu perlahan surut dan kini nyaris tak bersisa. Kini, geliat baru hadir dalam wujud kopi gerobak keliling yang mulai mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan tren sebelumnya.
Fenomena kopi gerobak keliling ini memang menarik dicermati. Gerobakan-gerobakan kopi dengan merek-merek yang terus bertambah kini makin mudah ditemui, berdiri di pinggiran jalan utama hingga dekat kawasan perkantoran dan pertokoan. Seperti tren minuman viral sebelumnya, geliat kopi keliling pun terlihat menjanjikan. Namun, apakah kopi gerobak keliling juga akan mengalami nasib yang sama dengan tren minuman sebelumnya?
Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Riau, Edyanus Herman Halim, menjamurnya kopi gerobak keliling merupakan bagian dari dinamika ekonomi mikro yang umum terjadi di masyarakat. Ia menyebut bahwa fenomena ini muncul sebagai respon atas kebutuhan ekonomi keluarga dan dorongan untuk mencari peluang usaha yang cepat dan terjangkau.
Usaha seperti kopi keliling, kata Edyanus, memang tergolong mikro dengan tingkat hambatan masuk yang sangat rendah. Semua orang bisa mencoba masuk ke bisnis ini karena tidak memerlukan modal besar. Rata-rata investasi awal hanya sekitar Rp30 juta untuk membeli gerobak dan perlengkapan, ditambah modal bahan baku untuk memulai penjualan.
Namun, kemudahan tersebut juga membawa risiko tinggi. Karena begitu banyak pemain yang masuk, persaingan antar pedagang pun semakin ketat. Ketika pasar mulai jenuh dan permintaan tidak lagi sebanding dengan jumlah penyedia, banyak pelaku usaha akan terpental dan tak mampu bertahan.
"Agar bisa bertahan di tengah persaingan yang ketat, pelaku usaha harus mampu membaca peta pasar secara cermat. Penjual kopi harus paham di mana titik-titik konsentrasi konsumen berada, seperti di sekitar kampus, sekolah, atau kawasan industri. Kejelian memilih lokasi bisa sangat menentukan keberlangsungan usaha," kata Edyanus kepada Tribun, Kamis (7/8/2025).
Selain lokasi, cita rasa juga menjadi bagian penting. Meski produk berasal dari pemilik merek yang sama, penjual tetap harus bisa menyesuaikan sajian dengan selera pelanggan di lokasinya masing-masing. Penjual adalah pihak yang paling dekat dengan konsumen, sehingga harus peka terhadap feedback dan tren selera yang terus berubah.
Inovasi produk juga tidak boleh diabaikan. Jika yang dijual hanya itu-itu saja, maka pembeli akan cepat bosan. Pelaku usaha harus berani bereksperimen, entah dengan varian rasa baru, tambahan topping, atau kemasan yang lebih menarik. Rutinitas tanpa inovasi adalah jalan cepat menuju kejenuhan pasar.
Faktor harga juga menjadi pertimbangan utama dalam mempertahankan daya saing. Harga yang terlalu tinggi akan membuat konsumen beralih ke produk lain, sementara harga yang wajar dan stabil dengan rotasi penjualan tinggi justru lebih menguntungkan. Di sisi lain, aspek penunjang seperti kebersihan gerobak, kerapian penyajian, dan pelayanan juga menjadi nilai tersendiri bagi konsumen.
Di tengah tantangan itu, kisah para pelaku usaha pun bervariasi. Salah satunya adalah Azhar, penjual kopi MS yang beroperasi di Jalan Soebrantas. Ia mengaku senang bisa bergabung dengan jaringan gerobakan kopi ini. Selain mendapatkan penghasilan tetap, Azhar juga memiliki kesempatan mendapatkan bonus setiap bulan jika berhasil melampaui target penjualan yang ditentukan.
Bagi Azhar, kehadiran bisnis kopi keliling bukan hanya tentang penghasilan, tetapi juga tentang stabilitas dan rasa percaya diri dalam menjalani hari. Setiap pagi, ia bersiap menata peralatan, menyiapkan kopi, dan menyambut pelanggan dengan semangat. Hubungan yang terjalin dengan pembeli membuatnya merasa memiliki tempat di tengah kehidupan kota.
Fenomena kopi keliling saat ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cermin dari bagaimana masyarakat mencari peluang di tengah tekanan ekonomi. Namun, apakah ia mampu bertahan lebih lama dibandingkan tren-tren sebelumnya, akan sangat bergantung pada seberapa adaptif dan inovatif para pelakunya dalam menavigasi selera pasar yang dinamis. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)