Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Nasional

OPINI : Suntikan Rp 200 Triliun ke Perbankan, Langkah Sah atau Cacat Hukum ?

Ada beberapa UU Perbankan yang melemah ketika pemerintah bersikukuh menyuntikkan dana segar ke Himbara

Editor: Budi Rahmat
ist / Tribun
Dr. Saut Maruli Tua Manik 

TRIBUNPEKANBARU.COM- Memperhatikan rencana kebijakan pemerintah terkait penyaluran dana Rp200 triliun ke
perbankan, langkah tersebut merupakan kebijakan yang sarat kontroversi. 

Alasan yang disampaikan pemerintah memang tampak rasional dari sudut pandang ekonomi, yaitu memperkuat
likuiditas, meningkatkan penyaluran kredit, dan mendorong pertumbuhan sektor riil. 

Akan tetapi, dari perspektif hukum, kebijakan ini justru menimbulkan sejumlah persoalan mendasar yang tidak bisa dikesampingkan.

Baca juga: Menkeu Purbaya Bongkar Kinerja Ekonomi Indonesia: Bandingkan Era SBY vs Jokowi

Pemerintah menjelaskan bahwa dana tersebut akan bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang selama ini ditempatkan di Bank Indonesia. 

Menurut Menteri Keuangan, penempatan dana dalam sistem perbankan akan memperkuat kapasitas bank untuk menyalurkan kredit, sehingga aktivitas ekonomi masyarakat dapat bergerak lebih cepat.

Narasi ini tampak meyakinkan, namun terdapat perbedaan fundamental antara kebijakan ekonomi dan landasan hukum. 
Di sinilah titik persoalan muncul. Sebab, kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dasar hukum yang kuat pada akhirnya akan menciptakan ketidakpastian hukum, melemahkan independensi institusi keuangan, dan membuka ruang praktik moral hazard yang berbahaya bagi stabilitas nasional.

UU Perbankan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 mengatur dengan jelas mengenai fungsi utama bank, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. 

Bank memperoleh dana dari tiga sumber: dana pihak ketiga, modal sendiri, dan instrumen keuangan lain yang sah. 

Tidak ada pasal yang menyebutkan pemerintah berhak menyuntikkan dana dalam jumlah besar ke perbankan umum. 

Bahkan, penempatan dana pemerintah dalam bank pun hanya dibolehkan dalam kerangka simpanan sementara, bukan instrumen permanen. 

Oleh karena itu, kebijakan Rp 200 triliun ini berpotensi melanggar prinsip dasar sistem perbankan
Indonesia. 

Jika alasan likuiditas dijadikan justifikasi, seharusnya bank mengandalkan mekanisme pasar dan instrumen Bank Indonesia, bukan intervensi fiskal dari pemerintah.

Baca juga: Menkeu Purbaya Kembali Jadi Sorotan: Sentil Bank yang Tolak Anggaran Rp 200 Triliun

UU Bank Indonesia

UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 menempatkan Bank Indonesia sebagai lembaga independen dengan mandat eksklusif menjaga kestabilan rupiah, kelancaran sistem pembayaran, serta stabilitas sistem keuangan. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved