Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Citizens Journalism

Izinkan Aku Mengagumimu, Pak *)

Rachmat Djoko Pradopo (selanjutnya akan ditulis RDP) adalah nama yang tak akan pernah diragukan “kandungan” ilmiahnya.

Editor: Afrizal
Facebook
heru marwata 

Lagi-lagi jawaban “Ah, biar saja, Dik”-lah yang saya dengar dari kesederhanaan dan kesehariannya.

Hmmm, adakah orang sebaik beliau di ranah ilmiah? Pasti sangat sulit dicari tandingannya.

Sabar dan baik hati: dua kata ini melekat dalam kehidupan RDP.

Setelah dua aspek yang sudah saya sebutkan di atas, kesahajaan/kesederhaan dan kesabaran/kebaikan hati, rasanya tak ada lagi yang perlu saya bahas karena sesungguhnya semua aspek pribadi RDP telah dijiwai oleh dua aspek tersebut.

Kedua sifat utama itu telah menjadi jantung nadi kehidupan RDP, baik sebagai ilmuwan, sastrawan, maupun manusia seutuhnya. Ini langka dan luar biasa. Anda harus setuju.

Saya adalah “titik-titik semut di tengah semesta” (lihat puisi RDP yang berjudul “BERDOA”.

Membaca RDP sebagai sebuah pribadi adalah melihat gajah yang ada di pelupuk mata.

Artinya, tidak sulit alias gampang.

Setidaknya sudah 33 tahun saya mengenal RDP.

Namun, ibarat gajah di pelupuk mata, ternyata RDP menjadi terlalu besar bagi semut lain yang lebih kecil seperti saya.

Jadi, biarlah semut kecil ini mencoba menelusuri gajah raksasa dan mengatakan hasil penjelajahannya yang pasti tidak akan sepadan dengan kebesaran sang gajah.

Jika menggunakan terminologi yang biasa saya katakan di kelas, mencoba adalah ukuran keberanian, anggap saja inilah salah satu bentuk keberanian itu.

Lugas tegas RDP menggunakan setiap esensi kata. Dalam puisi berjudul “PASAR KEMBANG” RDP menulis:

 “di sini perempuan-perempuan menggadaikan

kemaluannya

tanpa bisa menebus kembali”

Inilah salah satu realitas keseharian Yogya.

Nama Pasar Kembang adalah bagian tak terpisahkan dari legenda Kota Budaya, mungkin setua cerita tentang Stasiun Tugu dan Jalan Malioboro.

Orang yang mengenal Yogya, apalagi yang pernah tingggal menetap di Kota Pelajar atau Kota Gudeg atau Kota Revolusi atau Kota Wisata ini, pasti akan segera menangkap kelugasan ungkapan RDP.

Di lokasi yang ada di Jalan Pasar Kembang itulah cinta dijajakan, dan seperti tersurat secara tegas, di situ pulalah “perempuan menggadaikan (saya lebih suka menggunakan kata menyewakan) kemaluannya”.

Namun, tak seperti semboyan pegadaian, “mengatasi masalah tanpa masalah”, perempuan-perempuan itu ternyata “tanpa bisa menebus kembali” dan sekaligus menghadapi banyak potensi permasalahan: kesehatan, penyakit, perjalanan usia, tidak laku, diobral, tertipu, diperkosa, dan seterusnya.

Kemudian, seperti disitir RDP bahwa

 “barangkali jalan Pasar Kembang

akan kian bertambah panjang

dan kian meluas arealnya”

Tampaknya benar adanya.

Rekaman historis-sosiologis-kultural dalam puisi RDP sangat visioner.

Puisi yang ditulis 27 tahun silam ini dengan tepat telah menebak alur cerita Pasar Kembang seperti yang sekarang terlihat.

Jika dulu para perempuan penjaja cinta mangkal di depan rumah-rumah penduduk atau di gang-gang (ini hasil penglihatan saya ketika menjadi DPL—Dosen Pembimbing Lapangan—KKN UGM di daerah sekitar Sosrowijayan dan Sosromenduran), sekarang—saat hotel tumbuh bak jamur musim penghujan di sekitar TKP (tempat kejadian perkara, menurut bahasa gaul)—para penjaja cinta bisa memanfaatkan hotel dan, yang sangat penting lompatannya, fasilitas atau layanan transaksi secara on line.

Kenyataan ini tidak hanya membuat Jalan Pasar Kembang semakin panjang dan meluas arealnya, tetapi juga makin jauh jarak jangkaunya (bahkan nyaris tanpa batas), juga makin modern menu transaksinya.

 Prediksi RDP lagi:

 “dan akan bertambah ratusan bahkan

ribuan perempuan-perempuan menggadaikan

kemaluannya

dan tanpa bisa menebus kembali

sampai kempis nafasnya berhenti”

Begitulah realitasnya.

Pelacuran telah merambah dunia yang makin luas.

Pasar Kembang hanya nama atau simbol sebuah TKP, tetapi dunia “pasar kembang” telah bersimaharajalela ke berbagai belah dunia dan bukan saja dalam realitas historis kekinian, melainkan juga dalam dunia virtual karena kemajuan teknologi informasi serta berbagai fasilitas layanan ikutannya.

Ternyata prediksi RDP dari tahun 1990 ketika belum ada HP, BB, BBM, FB, dan atau media sosial lainnya telah menjadi kenyataan. 

Dalam puisi berjudul “DOA”, RDP menulis:

 “doa demi doa telah diucapkan

tetapi akan selalu diucapkan beribu kali

bahkan maling pun berdoa

ketika mau mencuri harta”

Begitulah, doa adalah keseharian manusia.

Apakah RDP pernah berdoa juga di luar puisi?

Terus terang dulu saya pernah hampir meragukan religiusitas RDP.

Keraguan itu habis dan punah tanpa sisa setelah kami berangkat untuk studi banding ke UI, Jakarta.

RDP adalah salah seorang pembimbing kami, saya dan teman-teman Program Studi Sastra Program Pascasarjana UGM, yang menempuh perjalanan Yogya—Jakarta dengan bus sewaan.

Dalam perjalanan panjang itu kami berhenti untuk beristirahat dan makan.

Nah, sebagaimana acara ritual umum perhelatan, misalnya seminar, kami pun menikmati “ishoma”.

Saat itulah RDP menjadi imam sholat.

Astaganaga, astaqfirullah, maafkan saya Pak, ternyata beliau menjadi imam dengan khusuk, bacaan Al-Fatihah dan suratnya fasih, jelas, dan bagus, dan kami pun menyelesaikan tugas “menghadap sebelum dipanggil” (ini guyonan saya untuk menyebut aktivitas sembahyang atau sholat) itu dengan baik.

Sejak itu saya berkesimpulan bahwa meskipun tak pernah (atau katakanlah, jarang) mengekspresikannya, RDP adalah seorang muslim yang “taat”.

Kesimpulan saya mengenai religiusitas RDP itu makin kuat setelah saya membaca sajak “HANYA DIA YANG MAHA” yang ditulisnya.

Kita cermati kutipan berikut.

yang penting adalah Tuhan

yang utama adalah Allah

yang lain boleh tak digubris

bahkan, agama tak perlu

asal selalu ingat kepada Tuhan

selalu beriman pada Allah

maka, yang lain boleh ditinggalkan

Jika menggunakan logika umum, apalagi cara pikir kelompok tertentu, tampaknya puisi ini bisa di-bullywarganet.

Dua baris pertama puisi tersebut jelas tidak ada masalah. Namun, dua baris berikutnya jelas punya potensi mengundang kritik pedas, apalagi jika ditambahi dengan tiga baris berikutnya.

Ungkapan “yang lain boleh tak digubris” dan “maka, yang lain boleh ditinggalkan” jelas bisa memicu kritik tajam.

Demikian pula halnya dengan lima baris di bait kedua ini.

agama dan peribadatan

cuma untuk umum

orang biasa

supaya tetap jadi orang baik

atau untuk menjadi orang baik

Pernyataan ini, jika jatuh ke tangan kelompok garis keras, bisa saja memantik persekusi dan bahkan kekerasan.

Pun dengan bait ketiga berikut.

maka, bagi mereka yang telah terlanjur baik

yang penting selalu ingat kepada Tuhan

selalu taqwa kepada Allah

entah bagaimana caranya

yang penting ingat dan berbakti kepada Allah

yang telah mencipta semesta

termasuk manusia di dunia

Tujuh baris pernyataan di bait ketiga ini jelas sulit diterima muslim secara umum.

Tafsir atas pernyataan “entah bagaimana caranya yang penting ingat dan berbakti kepada Allah” tidak akan memenuhi standar baku cara muslim beribadah.

Kalau sekadar “ingat dan berbakti kepada Tuhan entah bagaimana caranya” diinterpretasikan secara bebas, pastilah akan ada kemungkinan memunculkan praduga perilaku penyesatan. 

Demikian pula halnya dengan pernyataan di empat baris bait terakhir puisi RDP: bisa dianggap menyesatkan.

yang penting adalah Tuhan

yang utama adalah Allah

yang lain boleh ditinggalkan

yang lain boleh tak dikenang!

Namun, jika kita kembali ke judul puisi tersebut, “HANYA DIA YANG MAHA”, dan kita membacanya dalam keseluruhan, pastilah makna yang sepotong-sepotong bisa dinegasikan karena memang hanya Dia yang maha, hanya Tuhan atau Allah, bukan lainnya. 

Puisi berjudul “MESKI” juga khas gaya RDP dalam berinteraksi dengan Tuhan.

RDP memulai baris puisinya dengan kata sakti “meski”.

Dalam tradisi penulisan secara umum, “meski” termasuk kata sakti karena membuat kita berpikir dan tak berhenti pada ujaran yang dibangun di belakangnya.

Pertanyaan RDP di awal bait ini memang terkesan “nylekethe”.

Bayangkan ini, “meski Tuhan mahatahu, tahukah Dia aku berada di sini”.

Kalau kita menangkap sambil lalu, kesannya ada keraguan bahwa Tuhan memang mahatahu.

Saya ingat pertanyaan guyonan yang dilontarkan Almarhum Damarjati Supadjar (GB UGM, filsuf, ilmuwan, dan penasihat spiritual Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) dalam suatu kuliah.

“Jika Tuhan itu mahakuat, bisakah Dia menciptakan batu yang Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?” begitu kira-kira pancingan diskusi yang disampaikannya.

Entah bagaimana logika sebab akibat ini bisa dibangun secara filosofis, tetapi pertanyaan ini cukup menggelitik, seperti halnya pernyataan implisit RDP.

RDP melanjutkan keraguannya dalam dan dengan baris sajak berikutnya, “artinya, apakah Dia mengubris diriku secara khusus automatis karena aku Cuma setitik semut di tengah semesta maha luas tanpa batas”.

Pertanyaan teologis ini tidak sepele, bahkan bisa sangat serius, apalagi jika dikaji dan digoreng di media sosial.

Begitulah RDP “yang dicipta cuma dengan bersabda, ‘Kun!’ fa yakun! ‘Jadi’ maka jadilah” bersama “... manusia bertriliun” lainnya.

Tentu penyebutan angka triliun ini agak hiperbolik mengingat sampai saat ini jumlah manusia di muka bumi masih berada pada bilangan miliar.

Betulkah sitiran RDP bahwa sebagaimana “... titik semut di tengah semesta mahaluasnya, sesudah itu, Dia tak peduli lagi karena semua sudah kodratnya”? Lagi-lagi ini pertanyaan yang bisa menjadi panjang dan rumit jawabannya, atau bisa saja justru menjadi sangat sederhana. Bagaimana dengan baris-baris berikutnya ini?

tapi, aku pun tak peduli

digubris atau tak

aku cuma menjalani nasib

yang ditentukan-Nya bersama semesta!

kini Dia di mana

sedang apa atau mengapa…

entah, aku tah tahu…

karena aku cma

setitik debu kentut-Nya

tak bermakna

tak punya peran apa-apa

titik semut di tengah semesta

Kesadaran religius bahwa manusia hanyalah setitik debu di semesta jagat raya, atau setitik semut di antara miliaran manusia, atau lebih satir lagi “setitik debu kentut-Nya” memang mudah dipahami (kecuali soal kentut yang pasti bisa menjadi bahan bahasan lain), tetapi benarkah manusia, termasuk RDP “tak bermakna, tak punya peran apa-apa” seperti “titik semut di tengah semesta”.

 Apa pun yang terjadi, realitas historis sudah mencatat RDP sebagai seorang mahaguru di Jurusan (atau sekarang Program Studi) Sastra Indonesia di Kampung Budaya Kampus Biru (FIB UGM) di samping dikenal pula sebagai seorang penyair/sastrawan.

Yang lebih penting, RDP sudah mengajar (menjadi dosen) di UGM selama puluhan tahun dan menulis beberapa buku yang tidak boleh dilupakan dalam dunia sastra.

Dalam kariernya sebagai dosen, RDP sudah mengampu beberapa mata kuliah yang jelas sekaligus merupakan tempat paling nyata ia menyebarkan banyak ilmu, khususnya untuk tiga bidang ini: kritik sastra, analisis puisi, dan stilistika.

Bahkan, sempat pula menyebarkan ilmu sampai ke Semenanjung Korea saat menjadi dosen tamu di HUFS Seoul.

RDP sudah membimbing dan meluluskan sekian banyak sarjana, master, dan doktor.

Yang paling penting saja, sejak 1992 RDP sudah menjadi kopromotor calon doktor dan mulai 2004 mulai menjadi promotor.

Dalam karier ini RDP sudah mencetak 17 doktor di UGM:  8 doktor dalam posisinya sebagai kopromotor dan 9 doktor dalam kedudukannya sebagai promotor.

Luar biasa. Pasti ini bukan sekadar setitik semut atau sedebu kentut. (Hmmm ... sayang sekali, saya yang berkali-kali diminta segera S3 dan akan dibimbingnya—supaya cepat selsai—malah  mletho sampai sekarang. Mohon ampun, Pak.).

Buku karya RDP berikut merupakan bukti lain bahwa beliau adalah seseorang dan seorang yang bukan sekadar, sekali lagi, setitik semut atau sedebu kentut.

Buku berjudul PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA: TEORI DAN PENERAPANNYA adalah referensi penting yang menjadi pegangan utama dosen dan mahasiswa sastra di seluruh Indonesia.

Buku PENGKAJIAN PUISI adalah rujukan andalan untuk dosen dan mahasiswa sastra yang ingin memahami dan mengkaji puisi dengan cara yang sangat sistematis dan logis.

Buku ini memberikan panduan yang sangat sederhana dan gamblang sekaligus sistematis tentang cara menganalisis puisi dari lapis-lapis norma yang dikandungnya.

Bahkan, pengungkapan detail mengenai bunyi serta vokal konsonan dalam puisi pun dibahas tuntas dalam buku RDP ini.  

Demikian pula dengan buku KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN dan BEBERAPA TEORI SASTRA: METODE KRITIK DAN PENERAPANNYA yang secara mudah dapat diikuti alurnya dan diimplementasikan alirannya untuk membedah karya serta memahami dan menerapkan teori/kritik sastra secara umum.

Eksistensi  RDP sebagai ilmuwan sastra itu dilengkapi dengan sebutannya sebagai sastrawan atau penyair.

Antologi puisi AUBADE dan MITOS KENTUT SEMAR serta TIDUR TANPA MIMPI merupakan bukti tak terbantah mengenai kehadiran RDP sebagai seseorang yang sangat layak diperhitungkan di jagat kesusastraan dan ilmu sastra Indonesia.

Untuk menutup persembahan pendek ini, saya ingin menggoreng “tahu bulat” (istilah yang saya gunakan untuk menyebut diri saya sebagai orang yang suka menulis dadakan dan tanpa perenungan, khususnya saat menulis puisi-puisian) yang khusus saya persembahkan kepada Mahaguru Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, orang yang pernah mengangkat saya sebagai asistennya di saat di jurusan ada seorang dosen muda yang belum punya pegangan apa pun (bahkan meja atau kursi saja belum punya).

RDP pulalah dosen senior saya yang pertama bilang ke saya, “Dik, kalau saya tidak di jurusan, kursi ini dipakai saja. Tidak apa”.

Tampaknya ini sepele dalam ukuran sekarang, tetapi itu “urusan” panjang pada tahun 90-an.

IZINKAN AKU MENGAGUMIMU, PAK

(tahu bulat spesial untuk Mahaguru Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo)

jika di dunia ini akan ada pengganti kata kagum

ingin kuajukan namamu sebagai salah satu

untuk menunjukkan bahwa aku, diriku

tak akan mudah melupakanmu

 

rekam panjang jejakmu, Pak

pasti akan terlalu pendek untuk kukatakan

apalagi dengan tahu bulat yang ada di penggorengan

jadi, padamu, izinkan aku mengalamatkan “tahu bulat” kekaguman

 

andai banyak orang sepertimu

biarlah dunia menulis dan meramu kisahnya

sementara khusus gurat gores sekelompok makna kata

tentangmu, izinkan salah seorang muridmu, terbata menuliskannya

 

dua kata saja untukmu, Pak

“aku mengagumimu”

 

Yongin, Korea, #pondokilusikatatanpaarti, 09102017

REFERENSI:

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987.Pengakajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

___. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

___. 1995.Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

___. 1999. Au ba de: aubade.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

___. 2006. Mitos Kentut Semar. Yogyakarta: Poetindo dan Pustaka Pelajar.

___. 2009. Tidur Tanpa Mimpi.Yogyakarta: Curvaksara.

____________________________

*) Catatan kecil untuk ikut mangayubagya peringatan ulang tahun ke-80 sang Mahaguru Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, 3 November 2017.

**) Staf Pengajar Prodi Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada yang saat ini sedang menjadi Visiting Professor di Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan.

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Tabola Bale dan Arah Pembangunan

 

Aspirasi Rakyat di Era Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved