Ilham Tohti, Aktivis HAM Uighur China Terima Penghargaan dari Parlemen Uni Eropa
Ilham Tohti, Aktivis HAM Uighur China Terima Penghargaan dari Parlemen Uni Eropa.
Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt, Jerman, Prof. Dr. Susanne Schroter menyebut bahwa cara-cara yang dilakukan Pemerintah Cina merupakan aksi barbarian.
Menurutnya, hal tersebut secara lazim dilakukan oleh Partai Komunis Cina untuk memaksa minoritas tunduk terhadap ideologi negara, seperti dilaporkan Deutsche Welle, (4/12/2019).
Tribunnewswiki.com melansir hasil wawancara portal berita Deutsche Welle dengan Prof. Dr. Susanne Schroter perihal kondisi yang terjadi.
Schroter menyebut bahwa Pemerintah China merupakan pemerintahan otoriter yang berupaya menundukkan oposisi - kaum minor - dengan menggunakan berbagai cara.
Cara-cara yang dilakukan ini tak hanya dilakukan terhadap etnis Uighur, melainkan terhadap semua kalangan yang menuntut liberalisasi ataupun demokratisasi.
“Dulu terdapat gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara ekstrim, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di TIbet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah China memperlakukan oposisi Uighur”, ungkap Schroter.
Pembuatan kamp-kamp yang disebut “re-edukasi” ini menurut Schroter telah menjadi satu kebiasaan dalam sejarah CIna dan Partai Komunis pada abad ke-20.
Cara yang dilakukan pemerintah China ini ditempuh untuk melakukan “pemaksaan ideologi” Partai Komunis terhadap masyarakat.
Lebih jauh lagi, strategi ini dimungkinkan akan membuat gentar oposisi.
Schroter menambahkan bahwa hal tersebut dapat membawa dampak bagi semua kelompok masyarakat yang dituduh melakukan perlawanan terhadap pemimpin politik China.
Di lain hal, bangsa Uighur dinilai aktif melakukan gerakan kemerdekaan.
Menyinggung landasan kebijakan Pemerintahan China, Schroter menerangkan bahwa “gerakan kemerdekaan” inilah yang menjadi alasan penindakan yang dilakukan pemerintah China dengan keras.
Di mata para pemimpin China, gerakan kemerdekaan tersebut dianggap sebagai bagian dari separatisme.
Tak hanya itu saja, Schroter menambahkan bahwa gerakan yang dianggap ‘separatisme’ ini kerap kali dibungkus dalam bingkai ‘Muslim’.
Schroter mengamati Gerakan Islamis Turkistan Timur yang masih diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai gerakan teror.
