Haji 2025

Kisah Perjalanan Haji 1446 H, Antara Ujian dan Cinta 

Editor: Theo Rizky
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tuk Azmi bersama sang istri, jemaah haji asal Pekanbaru saat berada di Tanah Suci.

Tibalah masanya Jemaah kloter 4 BTH melanjutkan perjalanan ke Mekkah, dengan berpakaian ikram semua jemaah sudah bersiap dari pagi, bus yang akan membawa telah pula tiba, berlahan bergerak sampai di Masjid Bir Ali berhenti untuk mengambil miqad bagi jamaah haji Indonesia yang berangkat dari Madinah, miqat (tempat berniat haji/umrah) yang umum digunakan adalah Masjid Bir Ali atau Masjid Dzulhulaifah. (Masjid Bir Ali merupakan salah satu miqat makani, yaitu tempat yang telah ditetapkan secara syar'i untuk memulai ihram bagi jamaah haji dan umrah). 

Jelang Ashar bus sudah masuk ke Kota Mekkah, lantunan labaikkallah humma labaik… tak henti-hentinya dikumandang jemaah sepanjang perjalanan. Jelang tengah malam baru selesai melaksanakan umroh wajib (Umrah wajib ini dilakukan bagi jemaah yang mengambil haji tamattu, yaitu mendahulukan umrah sebelum melaksanakan ibadah haji).

“Subhanallah, walhamdulillah, walailahaillallah wallahuakbar, ujian perjalanan ibadah haji kami baru dimulai di Mekkah. Kloter kami ditempatkan di daerah syisah, tersebar di beberapa hotel, Atuk di hotel nomor 130, sedangkan Amay hotel 106, jaraknya hampir dua kilo meter,” ujarnya.

Petugas kloter sudah berusaha maksimal mengatasi kepanikan jemaah yang terpisah hotel antara suami istri, dan jemaah usia lanjut dengan keluarga yang mendapingi.

Namun semua belum berhasil mendapatkan solusinya, petugas haji yang di Mekkah juga belum bisa berbuat banyak. 

Puncak dari permasalahan itu adalah kebijakan baru pemerintah terkait jumlah Syarikah yang melayani jemaah haji Indonesia, yang sebelum cuma satu, menjadi delapan  syarikah.

Tiga malam pertama Atuk Azmi harus tidur di hotel istrinya di 106, karena belum ada Jemaah haji lain yang masuk ke hotel tersebut.

“Berjalan kaki tidak kuat lagi, terpaksa naik taxi yang jujur sopirnya minta 15 riyal, tapi ada juga yang minta bayaran 20 riyal sekali jalan, “ kenangnya.

Terpisah hotel ini dilakoninya sampai satu minggu menjelang pelaksanaan puncak ibadah haji yaitu Armuzna (Arafah, Musdalifah, dan Mina). Akibatnya tidak banyak waktu pasangan ini untuk dapat beribadah di Masjidil Haram, karena rute bus shalawat  berbeda.

“Rute bus shalawatnya berbeda, kalau naik bus dari hotel 130 saya mesti ke terminal syib Amir dulu, baru pindah bus rute ke hotel 106, setelah itu kembali lagi ke Syib Amir. Habis waktu mutar-mutar saja, akibatnya kami tidak bisa maksimal menikmati beribadah di Masjidil Haram, lebih banyak sholat di masjid hotel atau masjid yang ada disekitar hotel,” ungkap Tuk Azmi 

Puncak hajipun tiba, perjalanan dari hotel ke Arafah berjalan sesuai jadwal, selama di Wukuf di Arafah pasangan ini memperbanyak istighfar dan memanjatkan doa.

Tenda cukup nyaman, makanan tidak pernah kurang, Arafah tidak lagi tandus dan panas, karena tenda-tenda besar dan ber AC. 

Namun mereka tidak turun mabid di Musdalifah, karena lambat berangkat meninggalkan Arafah, sampai di Musdalifah sudah hampir lewat tengah malam mereka masuk kelompok Murur (dalam konteks ibadah haji merujuk pada skema di mana jemaah haji, setelah wukuf di Arafah, tidak turun dari bus saat melewati Muzdalifah dan langsung melanjutkan perjalanan ke Mina.

Ini adalah salah satu cara untuk mempercepat dan mempermudah pergerakan jemaah, terutama bagi lansia dan disabilitas, pada puncak ibadah haji).

Beruntungnya dengan murur itu mereka terhindar dari menumpuknya jemaah haji di Musdalifah akibat keterlambatan siklus penjemputan bus ke Mina.

“Ada tiga perkara yang menjadi kunci sukses menunaikan ibadah haji. Yaitu; Kekuatan pisik, Kesabaran yang berlipatganda, dan keimanan dalam arti punya ilmu manasik haji, sehingga dapat menerima dengan Ikhlas semua ujian dan cobaan yang ditemui selama perjalanan menunaikan  ibadah haji” ungkapnya

Mengenai pelayanan petugas haji di Mekkah, kembali kepada niat dan rasa tanggungjawabnya  sebagai petugas, ada yang melayani dengan sungguh-sungguh, namun ada pula yang hanya sekedarnya saja.

Banyak kejadian yang dialami terkait pelayanan petugas non kloter di Mekkah.

“Semua itu biarlah menjadi kenangan saja, yang pasti pemerintah harus terus mengevaluasi dan meningkat kualitas petugas, mulai dari rekrutmennya, jika perlu melibatkan tes psikologi, ”tegas Tuk Azmi 

Tuk Azmi dan istri sudah selamat kembali ke tanah air, diusianya yang sudah 72 tahun, 5 rukun Islam sudahpun ditunaikan, saatnya menjaga untuk dapat terus istiqomah beramal ibadah.

“Ujian dan Cobaan yang kami terima tidaklah sebanding dengan cinta dan kasih sayang Allah,” tutup Tuk Azmi. (*)

 

Berita Terkini