Klaim Sepihak di Pondok Kompeh, Warga Gusar Dusun Mereka Masuk dalam Objek Penertiban Kawasan Hutan
Warga gusar, Satgas-PKH) menyatroni dusun Pondok Kompeh, Desa Lubuk Batu Tinggal, kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Penulis: Ikhwanul Rubby | Editor: Hendri Gusmulyadi
TRIBUNPEKANBARU.COM - Sudah beberapa bulan belakangan Marlan Tarigan dan sejumlah warga gusar, persis sejak Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas-PKH) menyatroni dusun yang dia pimpin; Pondok Kompeh, Desa Lubuk Batu Tinggal, kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Dusun ini kebetulan berada di bibir areal yang pada tahun 2004 silam ditunjuk menjadi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) tahap satu. Situasi itulah yang kemudian menjadi alasan dusun tersebut masuk dalam objek Penertiban Kawasan Hutan.
Marlan mulai cerita, masyarakat telah bertempat tinggal di sekitar dusun itu sejak tahun 1957 silam. Bercocok tanam menjadi keseharian penduduk dusun hingga kemudian satu waktu, masyarakat dirangkul oleh perusahaan plat merah bernama Inhutani IV. Perusahaan ini menjadi penerus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Dwi Martha yang mendapat konsesi di areal yang telah menjadi TNTN tahap satu tadi.
"Belakangan masyarakat kemudian bertanam kelapa sawit," kenang Marlan saat berbincang dengan awak media, Rabu (10/9) di kedai kopi yang kebetulan berada di kawasan Desa Pontian Mekar. Desa ini berdekatan dengan Desa Lubuk Batu Tinggal.
Sambil menyeruput kopi panasnya, lelaki yang karib disapa Pak Kadus ini menyebut, Dusun Kompeh bukanlah satu-satunya dusun yang ketar-ketir oleh dalil penertiban kawasan hutan tadi. Masih satu hamparan dengan Dusun Kompeh, ada sekitar tiga ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani yang malah sudah dipasangi plang oleh Satgas PKH. Kebun-kebun kelapa sawit tadi tergabung dalam tiga koperasi: Mekar Sakti, Lubuk Indah, dan Tani Berkah.
Hitungan Marlan, masing- masing koperasi itu beranggotakan 500 orang yang merupakan warga Kecamatan Lubuk Batu Jaya. Untuk menjalankan operasional di masing-masing koperasi tadi, dibentuk pula 4 kelompok tani.
"Kebun-kebun sawit itu sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) keluaran 1998-1999. Artinya rata-rata sudah 26 tahun kebun-kebun itu bersertifikat dan sudah selama itu pula menjadi tumpuan hidup masyarakat. Sekarang, 80 persennya malah sudah generasi kedua," Marlan mengurai.
Selama ini kata Marlan, kebun yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat itu tidak pernah bermasalah. Baik dengan manusia, maupun satwa. Tapi sejak munculnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, petaka itu muncul. Kebun yang dibangun dari hasil keringat masyarakat itu diklaim berada di TNTN.
Oleh dalil itu pula, lahan yang sudah bersertifikat jauh sebelum adanya TNTN itu konon akan disita dan dijadikan areal konservasi. "Kalau mau diambil secara sepihak dengan alasan lahan itu areal TNTN, ini tidak adil. Sebab kami sudah ada di sana jauh sebelum TNTN ada," suara Marlan terdengar bergetar.
Petani Bantah Pernyataan Menteri ATR Nusron Wahid
Di tengah kegundahan yang ada, berseliweran pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang - Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), Nusron Wahid yang mengatakan kalau dari sebanyak itu sertifikat kebun sawit petani di kawasan Lubuk Batu Tinggal dan Pontian Mekar, sudah lebih dari 1000 persil yang telah diserahkan oleh masyarakat secara sukarela kepada negara.
Pernyataan ini sontak saja membikin masyarakat bertambah nelangsa. "Sampai detik ini belum ada di antara kami yang menyerahkan sertifikat dan kebun secara sukarela. Semua surat masih ada sama petani. Gimana pula mau menyerahkan, itu satu-satunya penghidupan kami,” tegas suara Marlan.
Marlan tak memungkiri kalau sejumlah masyarakat ada yang ‘dibujuk’ untuk menyerahkan lahannya, tapi mereka menolak. "Kita tidak dalam rangka melawan pemerintah, tapi yang logis sajalah. Kebun itu menjadi satu-satunya sumber hidup. Sertifikatnya sudah ada jauh sebelum TNTN ada. Terus, kita serahkan pula secara sukarela. Yang bener sajalah,” ujar Marlan.
Soal adanya iming-iming relokasi, lelaki ini mengatakan bahwa seharusnya sudah ada kepastian yang terang-benderang terlebih dahulu. Mulai dari lokasinya dimana, lalu lokasi itu sesuai nggak dengan nilai ekonomi yang diambil alih? “Biar masyarakat tidak memulai dari nol lagi, tapi justru langsung melanjutkan hidup," katanya.
"Terus, petani juga butuh jaminan apakah lokasi yang baru aman dari kebijakan. Ini menyangkut masa depan lho. Kenapa kami bertanya begitu, sebab lahan kami yang telah bersertifikat hak milik lebih dari 25 tahun saja dipersoalkan,” tambahnya.
Operasional Kebun Masih Berjalan Seperti Biasa
Target Desember Rampung, Jalan Lintas Cerenti – Air Molek Mulai Diperbaiki |
![]() |
---|
Harga TBS Mitra Swadaya Periode 27 Agustus–2 September 2025 Mengalami Penurunan, Berikut Rinciannya |
![]() |
---|
Pelatihan BPDP Bantu Pekebun Tingkatkan Literasi dan Produktivitas Sawit |
![]() |
---|
Kelapa Sawit Lebih Subur dengan Ecoenzym, Inovasi yang Dibawa Dosen Abdurrab ke Desa Sei Lembu |
![]() |
---|
Ampelindo Kampar Laporkan Truk Pembawa CPO dan Cangkang Kelapa Sawit Lebihi Muatan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.