Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Usulan Pahlawan Nasional 2025

Prabowo Umumkan 10 Pahlawan Nasional Baru: Tidak Ada Nama dari Riau, Mahmud Marzuki

Pemerintah Provinsi Riau sempat mengajukan satu nama tokoh asal daerahnya untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Istimewa
Kibarkan bendera merah putih yang dijahit sang istri, Mahmud Marzuki kemudian bergerilya mengusir penjajah. Kini menjadi calon pahlawan nasional dari Kampar, Riau. 
Ringkasan Berita:
  • Prabowo mengumumkan nama tokoh yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional 2025
  • Usulan Pahlawan Nasional dari Riau, Mahmud Marzuki ditolak
  • Mahmud Marzuki adalah pejuang dari Kampar, Riau yang memimpin perlawanan untuk mengusir penjajah

 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). 

Simbolis itu, Prabowo menyerahkan gelar pahlawan nasional kepada para ahli waris.

Ada 10 tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang menjadi pahlawan.

Mulai dari mantan presiden, TNI, tokoh buruh, hingga ulama.

Berikut 10 tokoh yang jadi pahlawan nasional baru 2025.

  1. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur)
  2. Jenderal Besar TNI Soeharto (Jawa Tengah)
  3. Marsinah (Jawa Timur)
  4. Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat)
  5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Sumatera Barat)
  6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah)
  7. Sultan Muhammad Salahuddin (NTB)
  8. Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur)
  9. Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara)
  10. Zainal Abidin Syah (Maluku Utara)

Usulan dari Riau Ditolak

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Riau sempat mengajukan satu nama tokoh asal daerahnya untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Tokoh tersebut adalah Mahmud Marzuki, sosok yang berasal dari Kampar, Riau.

Namun, ketika daftar nama pahlawan resmi diumumkan, nama Mahmud Marzuki tidak tercantum di dalamnya.

Sosok Mahmud Marzuki

Seorang sejarawan dan budayawan Kampar, A. Latif Hasyim yang juga Tim Peneliti, Pengkaji Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kampar mengkisahkan sosok Mahmud Marzuki kepada Tribunpekanbaru.com, Senin (11/11/2024).

Dalam Buku yang disusun pada 2017-2018 itu, berjudul "Riwayat Perjuangan Mahmud Marzuki: dari Singa Podium ke Penjara Kolonial Hingga Gugur (1938-1946)".

Dalam biografi yang diterima Tribunpekanbaru.com dari salah seorang TP2GD, Latif Hasyim, Mahmud Marzuki merupakan Tokoh Pahlawan atau Pejuang dari Riau

Sosok kelahiran Kumantan, Bangkinang tahun 1911 ini wafat pada 5 Agustus 1946. Beliau dimakamkan di depan Perguruan Mualimin, Desa Kumantan Kecamatan Bangkinang Kota.

Mahmud merupakan putra dari ayahnya, Pakih Rajo dan ibunya, Hainah. Ia memperistri Soleha binti Lakin dan Maimunah binti Yusuf.

Beliau memiliki tujuh anak. Terdiri dari Nazar kelahiran 1936, Salma (1939), Wisal (1946), Samsimar (1946), Mukhlis (1941), Nasrun (1943), dan Fauziah (1947).

Mahmud merupakan Pimpinan Pasukan Hizbullah dan Harimau Kampar pada masa perjuangan kemerdekaan. Ia juga pernah menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNIP) Daerah Kampar, Sumatera Tengah. 

"Beliau mempunyai keinginan belajar yang sangat besar dan perhatian di bidang pendidikan," kata Latif.

Ia mengenyam pendidikan formal dan nonformal. Ia pernah menempuh pendidikan formal di Nazmia Arabic College Lahore India, Mualimin Tawalib Bangkinang, dan Sekolah Rakyat (SR) Bangkinang.

Selain itu, pendidikan nonformal pada pelatihan Keahlian Mekanik di Simpang Tiga Pekanbaru. Berikut pengajian di surau-surau masyarakat.

Pada 1945-1946, ia menjadi Ketua I Komite Nasional Indonesia wilayah Kampar. Dalam rentang yang sama, ia juga Ketua Muhammadiyah Wilayah Kampar. 

Sebelumnya pada 1943-1944, ia memimpin Muhammadiyah Payakumbuh Sumatera Tengah. Ia juga Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Payakumbuh. 

Ia juga dikenal Singa Podium. Bagi beliau, mati syahid adalah kematian terbaik. Salah satu pidatonya paling terkenal saat di depan pasukan dan masyarakat di Lapangan Komisi Tiga Negara (KTN) Pulau Balai, Kuok. 

"Jangan takut mati dalam berjuang, karena mati dimanapun akan sama rasanya," demikian kutipan pidato sosok yang dipanggil dengan Ongku Mahmud dan Buya Mahmud itu. 

Selain itu, pidato ikoniknya di hadapan peserta upacara pengibaran bendera pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Lapangan Kontroler Belanda atau Wedana Bangkinang pada 11 September 1945. 

"Siapa yang coba menurunkan Bendera Merah Putih yang telah dikibarkan ini, niscaya akan melihat banjir darah di lapangan ini," teriaknya di dalam kepungan pasukan sekutu Jepang, dan Belanda. 

Pada 2019, namanya mendapat tanda penghormatan. Ia ditetapkan menjadi Tokoh dan Pejuang Daerah Riau

Lahir di Kumantan, Bangkinang pada 1911, Mahmud saat anak-anak mengecap pendidikan di bangku Sekolah Rakyat (SR). Masa remajanya, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Tarbiyatul Islamiyah pada 1927-1934.

Minat belajarnya bertahan setelah itu. Dalam keterbatasan biaya, ia kukuh melanjutkan pendidikan ke India. Ia pun berangkat pada 1934.

Perjalanannya untuk sampai ke India, tidak mudah. Ia kehabisan biaya saat tiba di Selat Panjang. Ia harus bekerja pada pamannya dan tinggal disana selama dua bulan.

Usahanya mengumpulkan biaya juga menghadapi tantangan berat. Ia sempat ditahan tentara Belanda atas tuduhan menjual korek api tanpa izin. 

Tuduhan ini rekayasa karena sebenarnya karena alasan lain. "Alasan utama Belanda menangkapnya adalah aktivitas dakwah beliau yang dianggap berbahaya," katanya.

Buya Mahmud, sapaannya, dikeluarkan dari penjara dengan bantuan pamannya. Setelah itu, melanjutkan perjalanan ke Singapura. 

Di negara itu, ia dibantu oleh seorang pengusaha sekampungnya bernama H. Abu Bakar. Bantuan dana digunakan untuk pergi ke Perak, Malaysia. Dimana banyak penduduknya berasal dari Kuok Bangkinang.

Sampailah dia di India. Pada 1936, ia tamat. Lalu kembali ke Bangkinang. Sekembalinya ke kampung halaman, ia mulai menilik sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah yang telah banyak berdiri. Ia juga aktif berdakwah. 

Ia tidak bisa leluasa berdakwah di dalam cekaman kolonial. Ia pun memusatkan dakwahnya di Air Tiris, daerah banyak temannya berasal. 

Keaktifan di bidang agama membuat ketokohannya kian tersiar. Ia diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Kewedanaan Bangkinang pada 1939. Di masa itulah ia mendirikan Sekolah Muhammadiyah di Kumantan, Bangkinang. 

Pada 1940, Ongku Mahmud mendirikan Hizbul Wathan untuk para pemuda. Lalu merantau ke Payakumbuh pada 1941 untuk mendalami perannya di organisasi Muhammadiyah dan sebagai Mubalig. 

Pada masa penjajahan, ia menunjukkan dedikasinya di bidang pendidikan. Di samping melawan penjajah dengan mengangkat senjata.

Ia tercatat mendirikan sekolah di dapur umum markas dan basis perjuangannya bersama pasukannya. Ia memimpin Pasukan Hizbullah dan Harimau Kampar bentukannya.

Markas dan basis perjuangan itu di rute gerilya yang dia bangun. Sekolah-sekolah itu masih eksis sampai sekarang. Ia diikuti beberapa teman seperjuangannya mendirikan sekolah yang masih ada sampai sekarang.

Mahmud Marzuki mendirikan Perguruan Mualimin Muhammadiyah Bangkinang pada tahun 1944-1945. Ini merupakan kelanjutan dari sekolah-sekolah ibtidaiyah dan sekolah rakyat (SR). 

Berdasarkan catatan TP2GD Kampar, berikut sebaran sekolah yang dibangunnya:

  • 12 di Kuok,
  • 13 di Air tiris,
  • 3 di Bangkinang,
  • 3 di Salo, 
  • 6 Rumbio.

Ditambah yang dibangun temannya seperjuangannya di desa dan dusun, total lebih dari 60 sekolah.

Pembangunan sekolah bersumber dari swadaya masyarakat yang semangatnya terbakar oleh pidato Mahmud Marzuki. Kini Perguruan Mualimin telah memiliki 40 lokal dari tingkat Ibtidaiyyah sampai Aliyyah. 

Sejarah mencatatkan, beliau memimpin pengibaran bendera Merah Putih yang pertama di Bangkinang setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. 

Dikutip dari Riwayat Perjuangan Mahmud Marzuki yang disusun oleh Tim Peneliti, Pengkaji Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kampar, kemerdekaan diumumkan di Kampar pada 9 September 1945.

Kala itu, beliau menjadi khatib pada Salat Idul Fitri di Lapangan Simpang Kubu Air Tiris. Ia mengumumkan kemerdekaan dan membakar semangat masyarakat untuk mempertahankannya.

Pada hari itu juga, ia mengadakan rapat akbar di Sekolah Muhammadiyah Air Tiris. Ia mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan Muhammadiyah di Limo Koto. Rapar dihadiri antara 150-250 orang. 

Dua hari kemudian, tepatnya pada 11 September 1945, masyarakat mengibarkan Bendera Merah Putih di Lapangan Marosse (sekarang dikenal dengan Lapangan Merdeka) Bangkinang. 

Naskah yang diterima Tribunpekanbaru.com dari TP2GD yang diketuai Yusri Munaf melalui A. Latif Hasyim, mengungkap bendera itu dijahit istri Mahmud Marzuki. Yaitu, Maimunnah binti Yusuf. 

Upacara pengibaran bendera yang langsung dia pimpin itu mendapat pengawasan ketat tentara Jepang dan Belanda. Kala itu, ia menyerukan perlawanan terhadap siapapun yang menurunkan Merah Putih.  

Tak sampai disitu, momen kemerdekaan itu dilanjutkan dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Limo Koto. Rapat itu menunjuk Mahmud menjadi Ketua I. 

Lalu pasukan yang dipimpinnya menjadi juru runding dengan pihak sekutu dari Inggris. Sekutu datang ke Bangkinang di bawah pimpinan Mayor Langley. Perundingan itu menyepakati bendera Belanda diturunkan. 

Setelah perundingan itu, Mahmud memimpin perlawanan untuk mengusir penjajah. Pengibaran bendera di beberapa lokasi pun kian massif.

Ia dan pasukannya menyerbu iring-iringan truk tentara Jepang di Lerang Kuok. Lokasi itu salah satu jalur gerilya yang dibuatnya dan para pejuang. 

Beberapa pertempuran secara sporadis pecah. Serangan balasan pun digencarkan pihak Jepang dengan menyergap, menyiksa hingga membunuh masyarakat Bangkinang.  

Tak terkecuali Mahmud dan pasukannya. Ia berhasil  ditangkap bersama 13 temannya setelah terkepung oleh 700-an tentara Jepang di rumahnya. 

Ia mengalami penyiksaan yang kejam selama berminggu-minggu. Ia pun dibebaskan setelah perundingan sekutu dengan Jepang.

Setelah bebas, Mahmud sakit-sakitan akibat siksaan yang dialaminya. Tetapi semangatnya tak surut melawan penjajah. 

Beliau akhirnya wafat pada 5 Agustus 1946. Pemakamannya dihadiri ribuan orang dari Limo Koto, tokoh dan sahabat dari berbagai kota di Sumatera Tengah.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved