Berita Nasional
Pakar Hukum Sebut Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Tak Bisa Dijerat Pasal Pencemaran Nama Baik
menurut Nasrullah, jika sudah muncul akibat, maka hal itu masuk ke dalam delik materil dan pasal bisa diterapkan .
TRIBUNPEKANBARU.COM - Tudingan ijazah palsu Jokowi tidak bisa dijerat pasal pidana pencemaran nama baik.
Hal ini diungkap oleh Pakar hukum pidana Teuku Nasrullah.
Teuku Nasrullah memiliki alasan khusus atas pendapatnya tersebut, yang diungkapkan dalam acara di channel YouTube Indonesia Lawyers Club yang dilihat WartaKota, Minggu (16/11/2025).
Seperti diketahui dalam kasus ini Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang tersangka yang terbagi dalam 2 kluster.
Klaster pertama Eggi Sudjana (ES), Kurnia Tri Rohyani (KTR), M Rizal Fadillah (MRF), Rustam Effendi (RE), dan Damai Hari Lubis (DHL) yang dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 27a Juncto Pasal 45 ayat (4) dan atau Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang ITE dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Sementara klaster kedua terdiri dari tiga tersangka yakni Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma alias dokter Tifa.
Mereka dijerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1) dan atau Pasal 35 Juncto Pasal 51 ayat (1) dan atau Pasal 27a junto Pasal 45 ayat (4) dan atau Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) Undang-Undang ITE, dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara.
Baca juga: Misteri Tewasnya Mahasiswa di Deli Serdang, Darah Berceceran di Lantai Kamar, Motor Hilang
Menurut Nasrullah dari kedua kluster itu pasal yang dikenakan sama, namun di klustet kedua ada tambahan pasal yakni menggunakan UU ITE.
"Saya coba bahas pasal-pasal yang dipersangkakan itu dari sisi teoretis, filosofis, dan aspek ilmu hukum pidana materiil. Sehingga tidak salah persepsi dalam penegakan hukumnya," kata Nasrullah.
Dalam pasal pencemaran nama baik terkait ijazah Jokowi kata Nasrullah, pembuktian dalam proses hukum ada dua mekanisme.
"Pertama harus dibuktikan itu tidak palsu. Nah, bagaimana membuktikan baju Bang Karni pakai tidak palsu? Mekanisme pembuktiannya adalah dengan mengundang pabrik penerbit. Penerbit menyampaikan kepada aparat penegak hukum ini speknya baju kami," kata dia mencontohkan.
Kemudian dalam proses penegakan hukum, katanhya akan diuji dengan pemikiran-pemikiran keahlian.
"Para ahli dihadirkan untuk menguji itu. Bahkan ada pakar yang berpendapat bahwa baru bisa dihukum ujaran kebencian, fitnah atau pencemaran nama baik kepada si penuduh, setetelah dapat dibuktikan bahwa itu adalah asli. Itu yang harus dilakukan terlebih dahulu," katanya.
Oleh karena itu, kata Nasrullah, penggunaan pasal pencemaran nama baik yang berkaitan dengan suatu tuduhan fitnah, maka harus dibuktikan dulu bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak benar.
"Nah, makanya tadi, saya juga heran kok Prof. Mahfud, ahli hukum tata negara bisa menjelaskan hukum pidananya dengan sangat bagus tadi ya. Rupanya saya ingat-ingat, oh ini pembahasan undang-undang ITE ketika beliau masih Menko Polhukam," kata Nasrullah,
Ia juga menyampaikan pada pasal 310 KUHP ayat 4 dan juga diadopsi oleh Undang-Undang ITe pasal 27 yang menyatakan tidak merupakan pencemaran nama baik atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
"Nah, kita melihat sebenarnya kasus ijazah palsu Pak Jokowi ini, tidak dikaitkan dengan kepentingan pribadi Pak Jokowi, lebih kepada persyaratan yang ditentukan oleh KPU dalam pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia," kata Nasrullah.
"Nah, apakah kritisi terhadap persyaratan pencalonan seseorang sebagai syarat untuk Presiden Republik Indonesia itu masuk kategori kepentingan umum atau tidak? Kita boleh berbeda pendapat. Tapi menurut pendapat saya itu adalah kepentingan negara, kepentingan umum yang harus dijaga agar ke depan tidak terulang perbuatan yang sangat memalukan," kata Nasrullah.
Kalau memang benar ijazah yang digunakan itu palsu, menurut Nasrullah maka proses penegakan hukum ini juga harus tuntas dengan mempidanakan pengguna ijazah palsu.
"Jangan meninggalkan sisa," katanya.
Ia lalu membahas Pasal 160 KUHP soal ujaran kebencian, yang sudah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
"Meskipun dulu pernah orang bilang, itu kan pasal peninggalan penjajahan, tapi Mahkamah Konstitusi mengatakan pasal itu tetap diperlukan," katanya.
"Jadi, oleh karena itu pasal itu tetap berlaku, tapi Mahkamah Konstitusi membuat persyaratan konstitusional yaitu deliknya harus dianggap sebagai delik materil bukan delik formil," ujar Nasrullah.
Artinya pasal itu bisa diterapkan jika terlihat akibatnya.
"Kalau tidak ada akibatnya misalnya yang disebutkan dalam akibat-akibat yang disebut dalam pasal itum maka dia masuk kategori delik formil," katanya.
Tapi, menurut Nasrullah, jika sudah muncul akibat, maka hal itu masuk ke dalam delik materil dan pasal bisa diterapkan .
Ia lalu masuk ke Pasal 32 dan 35 UU ITE soal manipulasi data elektronik yang dipakai menjerat 3 tersangka di kluster kedua.
"Saya mencatat pasal ini adalah pasal-pasal yang sering digunakan untuk dapat dilakukan penahanan terhadap seseorang. Tapi saya selalu berharap dan berdoa penggunaan pasal ini hati-hati," kata Nasrullah,
Sebab kata dia bisa timbul moral hazard atau ketiadaan moral terhad hukum dan dalam penegakkan hukum.
"Dalam praktik peradilan kitam sering sekali terjadi. Sering sekali, bukan sekali dua kali. Berkali-kali pasal ini hanya dipakai sebagai cantolan untuk melakukan penahanan. Di persidangan sering tidak terbukti. Yang terbukti pasal-pasal lain, tapi pasal lain itu tidak bisa digunakan menahan seseorang," katanya.
Menurut Nasrullah sebagai orang di bidang hukum baik sebagai praktisi maupun akademisi, penting menjaga agar penegakan hukum bermoral.
"Masukkan aja dulu pasalnya nanti enggak terbukti, enggak apa-apa. Yang penting kita sudah bisa tahan. Itu adalah problem moral hazard di dalam penegakan hukum. Tidak boleh ada satu orang pun yang membiarkan keadaan itu. Itu harus kita lawan ya," ujarnya.
"Kalau kita cinta dengan aparat penegak hukum kita, kita cinta dengan Polri, kita cinta dengan kejaksaan, hindari penggunaan pasal-pasal yang sekedar menjadi cantolan dalam penegakan hukum kita," katanya.
Sementara itu kuasa hukum Roy Suryo, tersangka dalam kasus ini, Abdul Gafur Sangadji menyoroti langkah Polda Metro Jaya yang menetapkan tersangka, namun tidak menunjukkan bukti utama yang dipersoalkan publik, yakni ijazah asli Jokowi.
“Berani nggak Polda Metro Jaya nunjuin ijazah Jokowi?” kata Gafur, Sabtu (15/11/2025).
Ia menegaskan, penelitian yang dilakukan Roy Suryo, Rismon, dan Dr. Tifa tidak bisa disamakan dengan kasus Gusnur dan Bambang Tri.
Menurutnya, kedua perkara itu berbeda jauh dari sisi konstruksi hukum hingga barang bukti.
“Hasil penelitian Mas Roy, Bang Rismon, dan kemudian Dr. Tifa, jangan dipersamakan dengan apa yang dilakukan oleh dua orang sebelumnya, yaitu Gusnur dan Bambang Tri… Basis yang mereka lakukan juga sangat berbeda,” ujarnya.
Gafur menilai penelitian ilmiah tidak bisa disebut menyesatkan.
Justru, katanya, penelitian itu muncul karena publik lama mencari kejelasan sejak kasus Bambang Tri dan Gusnur dua perkara yang juga tidak pernah memperlihatkan ijazah asli Presiden.
“Ternyata tidak pernah dilakukan otentikasi oleh KPU. Ini fakta persidangan, tidak bisa dibantah," katanya.
Menurutnya, KPU hanya melakukan purifikasi terhadap ijazah yang dilegalisir, bukan autentikasi dokumen asli. Ia menilai hal ini menguatkan alasan publik mempertanyakan bukti primer.
“Ya tampilkan saja ijazah Pak Jokowi supaya sama-sama kita lihat. Jangan berdalih di balik ijazah orang. Kenapa primary evidence itu tidak pernah ditampilkan?” ujar dia.
Gafur juga menyoroti standar praktik kepolisian yang biasanya membuka barang bukti saat menetapkan tersangka dalam berbagai kasus.
“Kalau dugaan tindak pidana narkotik, narkotiknya ditampilkan. Kalau dugaan tindak pidana pembunuhan, alatnya ditampilkan. Tetapi kenapa ijazah ini masih misterius?” katanya.
Ia menilai penyidik justru membuat perkara makin tidak terang. Mantan Wamenkumham itu menegaskan bahwa dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya.
“Ini cahayanya sudah terang, tapi alat buktinya harus lebih terang lagi," kata dia.
Blak-blakan Gafur mengingatkan jika ada delapan orang yang kini terseret kasus ini. Karena itu, ia menuntut transparansi penuh.
“Rusak ini sistem hukum pidana kita kalau begini. Criminal justice system kita dirusak oleh aparat penegak hukum sendiri,” ujarnya.
( Tribunpekanbaru.com )
| Rekrutmen Petugas Haji Dibuka November 2025, Kemenhaj Umumkan 5 Kategori PPIH 2026 |
|
|---|
| Program Pemutihan Iuran BPJS Kesehatan 2025, Ini Cara Daftar dan Cek Jumlah Tunggakan |
|
|---|
| Terungkap Alasan Ahmad Sahroni Hancurkan Rumah di Tanjung Priok yang Sempat Dijarah Massa |
|
|---|
| Sudah Diputuskan MK, Menanti Ketegasan Prabowo Agar Menarik Polisi Aktif dari Jabatan Sipil |
|
|---|
| MK Resmi Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Anggota DPR Nilai Tidak Bisa Langsung Diberlakukan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/Ijazah-Jokowi-palsu.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.