Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Nasional

Ada Wacana Mediasi, Roy Suryo cs Tolak Damai dengan Jokowi: Ini Soal Kebenaran dan Keadilan

Ia menyebut bahwa dugaan pemalsuan ijazah tidak bisa dinegosiasikan karena berkaitan langsung dengan kebenaran dan keadilan.

Kolase TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin - Kompas.com/Rindi Nuris V
POMELIK IJAZAH JOKOWI - (kanan ke kiri) Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Pakar telematika sekaligus mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) KRMT Roy Suryo. Roy Suryo bersama Dokter Tifa, Rismon Sianipar mendadak mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta bantuan setelah Jokowi menutup pintu damai terkait polemik ijazah palsu. 
Ringkasan Berita:
  • Proses hukum terkait dugaan ijazah palsu Jokowi semestinya memiliki kepastian hukum yang setara, baik di Polda Metro maupun di Bareskrim.
  • Pihak Roy Suryo menegaskan penolakannya terhadap opsi damai dalam perkara yang mereka anggap sebagai tindak pidana murni.
 

 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Kuasa Hukum Roy Suryo dkk, Ahmad Khozinudin, menyampaikan keberatannya dengan tegas menanggapi munculnya wacana mediasi dalam kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

Isu mediasi itu sendiri mencuat setelah Komisi Percepatan Reformasi Polri menggelar audiensi dengan Kritikus Politik Faizal Assegaf di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta Selatan, pada Rabu (19/11/2025).

Menurut Khozinudin, perkara tersebut tidak seharusnya digeser ke wilayah kompromi. Ia menekankan bahwa proses hukum yang berjalan harus tetap berada pada jalur penegakan hukum murni tanpa wacana penyelesaian damai.

"Tanggapan saya yang pertama bahwa ini adalah kasus hukum dan tidak boleh ada intervensi institusi apa pun yang mengubah kasus hukum ini menjadi kasus politik," ujarnya kepada wartawan, melansir dari Tribunnews.

Menurutnya, upaya “perdamaian” justru berpotensi mengaburkan inti persoalan.

Ia menyebut bahwa dugaan pemalsuan ijazah tidak bisa dinegosiasikan karena berkaitan langsung dengan kebenaran dan keadilan.

Ia menilai pendekatan yang lebih tepat adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kepolisian selama satu dekade terakhir, terutama dalam kasus-kasus yang dianggap sebagai kriminalisasi terhadap publik.

Khozinudin juga menyoroti kepemimpinan Polri di era Tito Karnavian dan Listyo Sigit Prabowo.

Menurutnya, bukan mediasi yang harus diprioritaskan, melainkan pembenahan prosedur penegakan hukum.

Baca juga: Roy Suryo Kembali Diperiksa Polisi Hari Ini: Bakal Langsung Ditahan?

Baca juga: UPDATE Dosen Tewas di Semarang: Hasil Autopsi Sebut Tak Ada Kekerasan tetapi Lakukan Aktivitas Berat

Ia menegaskan kembali, "Terutama saat dipimpin oleh Tito Karnavian dan dilanjutkan oleh Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, jadi bukan alih-alih melakukan perdamaian harusnya tim Reformasi Polri mendorong polisi untuk bertindak profesional yaitu dengan cara meminta polisi untuk membuka kembali kasus dugaan ijazah palsu yang merupakan perbuatan pemalsuan dokumen 263 KUHP di Bareskrim Mabes Polri yang telah dihentikan secara sepihak."

Ia menambahkan bahwa proses hukum terkait dugaan ijazah palsu Jokowi semestinya memiliki kepastian hukum yang setara, baik di Polda Metro maupun di Bareskrim.

"Jadi tidak boleh bersikap tidak adil, di kasus Jokowi dilanjutkan sementara laporan masyarakat yang terkait aduan ijazah palsu dihentikan," lanjutnya.

Pihak Roy Suryo menegaskan penolakannya terhadap opsi damai dalam perkara yang mereka anggap sebagai tindak pidana murni.

Bagi mereka, inisiatif mediasi justru melemahkan proses hukum yang seharusnya berjalan transparan dan tegas.

Jimly Asshiddiqie Bahas Kasus Ijazah Jokowi

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie juga menyinggung kasus Ijazah Jokowi.

Kasus dugaan penggunaan ijazah palsu dalam pemilihan umum kembali menjadi perhatian publik.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar isu teknis, tetapi masalah serius yang terus berulang dalam setiap kontestasi politik.

Pernyataan tersebut disampaikan Jimly usai menghadiri rapat audiensi bersama sejumlah pihak di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu (19/11/2025).

Dalam forum itu, ia mengingatkan bahwa praktik mempersoalkan atau bahkan menggunakan ijazah palsu kerap dijadikan strategi untuk menjatuhkan lawan politik.

Jimly kemudian mengisahkan pengalaman pribadinya saat memimpin MK pada periode 2003–2008.

Pada masa itu, terutama menjelang Pemilu 2004, MK menerima banyak perkara yang berkaitan dengan keaslian ijazah para calon anggota legislatif.

"Saya cerita, saya Ketua MK tahun 2004, pertama kali Pilpres dan Pemilihan Umum yang perselisihannya (disidangkan) di MK. Itu banyak sekali kasus ijazah palsu," ujarnya, melansir dari Tribunnews.

Maraknya perkara serupa membuat MK saat itu mengusulkan perubahan regulasi.

Sebelumnya, syarat pendidikan minimal untuk menjadi caleg hanyalah lulusan SMP. 

Namun, karena banyaknya persoalan ijazah dan ketimpangan rekam pendidikan para calon, MK menyarankan pemerintah menaikkan standar tersebut.

"Maka tahun 2004 syarat menjadi caleg itu SMP. Maka atas dasar pengalaman itu, kami (hakim MK) menyarankan kepada pemerintah supaya ditingkatkan dong, jangan SMP, jadi SMA."

Rekomendasi itu kemudian diterapkan pada Pemilu 2009.

Meski demikian, Jimly mengungkapkan bahwa kenaikan syarat pendidikan tidak otomatis menghentikan tindakan pemalsuan. Bahkan, hingga Pemilu 2024 pun praktik tersebut masih muncul.

Ia menyebut, ada tujuh sengketa terkait ijazah yang masuk ke MK pada pemilu terakhir. Situasi ini, menurutnya, menunjukkan bahwa persoalan ijazah palsu masih menjadi senjata dalam pertarungan politik.

"Ternyata tetap banyak juga (kasus) ijazah palsu itu," katanya, menegaskan kembali bahwa masalah tersebut belum selesai hingga hari ini.

Lebih jauh, Jimly menilai fenomena ini menjadi tanda bahwa tata kelola administrasi di lembaga pemerintahan masih lemah. Sistem verifikasi data yang seharusnya ketat ternyata masih menyisakan celah.

Persoalan ini pun menjadi perhatian Komisi Reformasi Polri. Karena itu, kelompok-kelompok yang selama ini memperjuangkan isu keaslian ijazah, termasuk pihak yang mempersoalkan ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo, turut diundang dalam rapat bersama komisi tersebut.

Dalam pertemuan itu, Jimly meminta seluruh pihak untuk mulai merumuskan solusi yang benar-benar bisa diberlakukan secara nasional.

"Maka saya tanya teman-teman yang hadir, apa solusinya? coba dipikirkan, kami mau bantu, walaupun tidak hadir," jelasnya.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved