Persoalan Lingkungan Terus Terjadi, Jikalahari-Fitra Riau Soroti Keterbatasan Akses Informasi Publik
Ketimpangan ini melemahkan partisipasi publik, memperlambat penegakan hukum, dan memperburuk konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Penulis: Theo Rizky | Editor: Sesri
Ringkasan Berita:Jikalahari dan FITRA Riau menegaskan bahwa keterbukaan informasi sektor HTI adalah kunci untuk mencegah deforestasi, memperkuat partisipasi publik, memastikan keadilan sosial, dan menjaga keberlanjutan ekologis.
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Keterbatasan akses informasi publik ternyata terbukti berdampak langsung terhadap deforestasi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga kerusakan ekosistem gambut.
Akses terhadap data spasial dan izin perusahaan terbatas hanya pada lembaga pemerintah dan pelaku industri, sementara publik dan organisasi masyarakat sipil hanya mendapat format non-interaktif.
Ketimpangan ini melemahkan partisipasi publik, memperlambat penegakan hukum, dan memperburuk konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Hal ini disampaikan koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo Setyo dalam Publikasi Kajian Evaluasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik Sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) Jikalahari bersama Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau di Pekanbaru, Rabu (19/11/2025)
Dalam publikasinya, berdasarkan data tahun 2024 menunjukkan deforestasi seluas 22.172 hektare di Riau, termasuk lebih dari 5.900 hektare di areal konsesi HTI dan sawit.
"Isu HTI sepertinya sudah mulai ditinggalkan di tengah isu nasional maupun tambang yang meningkat, kemudian isu sawit juga cukup besar, kalau semakin tidak diperhatikan, informasinya semakin hilang, tapi di lapangan yang kita perhatikan konflik masih terus terjadi," kata Okto.
Baca juga: Fitra Sebut KPK Harus Mengusut Tuntas Seluruh Jaringan Korupsi Proyek Infrastruktur di Riau
Menurutnya, ketertutupan informasi memperkuat dominasi korporasi atas sumber daya hutan dan menempatkan masyarakat sipil pada posisi yang tidak setara dalam mengawasi kebijakan publik.
"Sejak 2018 kita sudah memantau 122 korporasi, sebagian besar HTI, tapi dari pemantauan selalu ceknya ketika telah ada kejadian, sudah ditebang hutannya baru kita turun atau sudah ada konflik, Koalisi tidak dapat memantau dalam rangka mencegah kerusakan karena tidak tersedianya informasi rencana kerja korporasi," ujar Okto lagi.
Ia meyakini, apabila data dan informasi dalam sektor Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan – Hutan Tanaman Industri (PBPHHTI) tersedia dan dibuka berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seperti UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka persoalan deforestasi yang diikuti oleh perubahan iklim akibat dan dampaknya, seperti banjir, rusaknya lingkungan akibat karhutla dan limbah industri maupun konflik dengan masyarakat adat dan tempatan bisa dicegah.
"Keterbukaan data diharapkan bisa meningkatkan partisipasi pemantauan bagi masyarakat, namun pembatasan data memiliki dampak langsung terhadap persoalan-persoalan di lapangan, seperti deforestasi, konflik dan pengurangan penerimaan pendapatan negara," tambah Okto.
Sementara itu, Koordinator Fitra Riau, Tarmidzi menyampaikan bahwa dalam analisis regulasi dan praktik keterbukaan informasi publik sektor HTI, memperlihatkan bahwa masih terdapat ketimpangan akses antara badan publik dan masyarakat dalam memperoleh informasi penting, termasuk data spasial dan peta konsesi HTI.
Di sisi lain, kelembagaan Komisi Informasi dan pelaksanaan putusan pengadilan masih belum cukup kuat untuk menjamin terpenuhinya hak publik atas informasi.
"Kalau kita bicara soal keterbukaan informasi di sektor HTI, paling tidak kita bisa mengetahui bagaimana pemberian izin dan pengelolaan HTI yang harus memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, untuk memastikan itu, informasi harus disediakan sehingga publik bisa berpartisipasi dalam melakukan pengawasan, pemantauan dan sebagainya," ujar Tarmidzi.
Kajian Keterbukaan Informasi Sektor Tanaman Industri HTI tersebut digelar dalam rangka memperkuat upaya keterbukaan informasi publik di sektor kehutanan.
Kajian itu menemukan keterbatasan akses informasi sektor HTI yang berdampak langsung terhadap deforestasi, karhutla serta konflik antara korporasi dengan Masyarakat adat dan tempatan.
Di sisi lain, transparansi data dan informasi menjadi faktor kunci untuk memastikan pengelolaan hutan berjalan sesuai prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.
(Tribunpekanbaru.com/Theo Rizky)
| FITRA Riau Imbau Pemerintah Daerah Efisien Gunakan Anggaran, Pangkas Perjalanan Dinas |
|
|---|
| Tunjangan Rumah dan Transportasi Satu Anggota DPRD Riau Rp 43 Juta Sebulan, Fitra Sarankan Ini |
|
|---|
| Rincian Gaji dan Tunjangan DPRD Riau, Sebagian Bantu Fasilitasi dan Biaya Berobat Masyarakat |
|
|---|
| Jikalahari-Green Radio Line Gelar Pelatihan Liputan Lingkungan, 16 Jurnalis di Pekanbaru Ikut Serta |
|
|---|
| Koorporasi Dinilai Jadi Penyebab, Jikalahari Taja Diskusi Bertajuk Banjir |
|
|---|
