Salah satu karyawan kafe menyebut, pihak manajemen kini hanya memutar lagu-lagu barat dan musik instrumental sebagai bentuk penyesuaian.
"Jadi, udah mengikuti aturan di sini, cuma gantinya pakai lagu-lagu barat," kata Ririn (nama disamarkan) saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (3/8/2025).
Namun, Dharma menegaskan bahwa musik dari luar negeri pun tetap wajib dibayar royalti.
LMKN telah menjalin kerja sama dengan organisasi hak cipta internasional dan Indonesia juga berkewajiban membayar royalti lintas negara.
“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional,” ujarnya.
Sementara itu, ada pula restoran yang memilih tidak memutar musik sama sekali untuk menghindari risiko pelanggaran.
“Udah enggak pernah nyetel lagi, dari awal udah enggak boleh. Jadi, benar-benar anyep,” kata Gusti, karyawan restoran mie lainnya.
DJKI: Layanan Streaming Pribadi Bukan Lisensi Komersial
Menanggapi fenomena ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham mengingatkan bahwa layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak serta merta memberikan izin komersial.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial,” kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, Senin (28/7/2025).
Dengan demikian, pemanfaatan musik di ruang usaha tetap harus melalui lisensi tambahan melalui LMKN, yang berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti secara kolektif.
Berikut beberapa hal perlu diketahui terkait royalti:
Siapa yang Menarik Royalti?
Penarikan royalti dilakukan LMKN, sebuah lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola dan mendistribusikan royalti dari penggunaan karya musik dan lagu, termasuk rekaman suara seperti ambience atau nature sound yang terdaftar sebagai karya cipta.
Ke Mana Uangnya Masuk?