Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

KPK Geledah Sejumlah Tempat di Riau

4 Hari KPK Maraton Geledah Kantor hingga Rumah Pejabat Riau Pasca Abdul Wahid Jadi Tersangka

Dari operasi tersebut, tim berhasil mengamankan dokumen penting dan barang bukti elektronik (BBE) yang diduga terkait manipulasi anggaran.

Editor: Sesri
tribunpekanbaru.com/Syaiful Misgio
BAWA KOPER - Penyidik KPK tampak membawa koper hitam berisi dokumen penting usai 9 jam menggeledah gedung Dinas Pendidikan Provinsi Riau, Jalan Cut Nyak Dien, Kota Pekanbaru, Kamis (13/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • KPK melakukan penggeledahan bertahap sejak 10–13 November 2025 di berbagai kantor pemerintahan Provinsi Riau dan beberapa rumah pribadi
  • Tim menyita dokumen dan barang bukti elektronik yang mengarah pada dugaan manipulasi anggaran dalam kasus dugaan pemerasan yang menyeret Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid

 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Sejumlah tempat digeledah KPK pasca ditetapkannya Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR Muhammad Arif Setiawan, beberapa Kepala Unit Pelaksana Teknis, serta Tenaga Ahli Gubernur Dani M. Nursalam sebagai tersangka.

Dalam pengembangan kasus dugaan korupsi berupa pemerasan, pemotongan, dan penerimaan gratifikasi yang menjerat Gubernur nonaktif Riau, Abdul Wahid, KPK menggeledah beberapa tempat di Riau.

Terbaru, pada Kamis (13/11/2025), penyidik menyasar Kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Riau serta dua rumah pribadi untuk mencari bukti tambahan.

Dari operasi tersebut, tim berhasil mengamankan dokumen penting dan barang bukti elektronik (BBE) yang diduga terkait manipulasi anggaran.

“Dalam lanjutan penggeledahan hari ini, Kamis (13/11), tim mengamankan dan menyita dokumen serta BBE dari kantor Dinas Pendidikan dan dua lokasi rumah,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulis.

Budi menegaskan, barang bukti yang disita memiliki benang merah dengan temuan sebelumnya.

Baca juga: Usai 9 Jam Geledah Disdik Riau, KPK Bawa Tiga Koper Dokumen

Baca juga: Sahabat Abdul Wahid Sebut Tata Maulana Lapor ke LPSK Pasca Ungkap Kejanggalan OTT KPK di Riau

Fokus utama penyidik adalah menelusuri jejak administrasi terkait tata kelola anggaran yang diduga diselewengkan. 

“Dokumen dan BBE yang disita, masih terkait dengan penganggaran,” jelasnya.

Temuan ini melengkapi bukti yang sebelumnya diamankan dari kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau.

Seluruh bukti bermuara pada dugaan praktik pergeseran anggaran di Pemprov Riau tahun 2025.

Penggeledahan di Disdik menjadi hari keempat rangkaian penyidikan KPK pasca-penetapan tersangka Gubernur nonaktif Riau, Abdul Wahid.

Sejak Senin (10/11/2025), KPK melakukan penggeledahan estafet:

  • Senin (10/11/2025): Kantor Gubernur Riau (ruang Gubernur, Sekda, dan Bagian Protokol).
  • Selasa (11/11/2025): Kantor Dinas PUPR Riau.
  • Rabu (12/11/2025): Kantor BPKAD dan beberapa rumah terkait.
  • Kamis (13/11/2025): Kantor Disdik Riau dan dua rumah pribadi.

KPK menegaskan komitmennya mengusut tuntas kasus yang dinilai merugikan masyarakat Riau dan menurunkan kualitas pembangunan.

Korupsi anggaran pendidikan dan infrastruktur berpotensi langsung mengurangi kualitas layanan publik, mulai dari sekolah hingga jalan yang menjadi kebutuhan dasar warga.

Alasan KPK Terapkan Pasal Pemerasan Bukan Suap

KPK membeberkan alasan utama mengapa kasus yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan, bukan suap. 

Pimpinan KPK menegaskan bahwa perbedaan fundamental terletak pada siapa yang aktif berinisiatif dan adanya unsur paksaan atau ancaman yang menggunakan kekuasaan.

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, dalam kasus ini, Gubernur Abdul Wahid sebagai pejabat publik secara aktif meminta sejumlah uang kepada bawahannya.

"Kalau pemerasan itu yang aktif ini adalah pejabatnya. Orang yang punya peran, orang yang punya jabatan tertentu yang kemudian bisa dimanfaatkan jabatan itu sehingga kemudian dia bisa meminta sesuatu," kata Tanak dalam keterangannya, Kamis (6/11/2025).

Menurut Tanak, permintaan dari seorang atasan yang memiliki kekuasaan penuh atas jabatan bawahannya menciptakan situasi paksaan. 

Para bawahan, dalam hal ini pejabat di Dinas PUPR, menuruti permintaan tersebut karena didasari rasa takut.

"Dan ketika diminta umumnya diikuti karena takut jangan sampai seperti kata Pak Deputi tadi. Takut kalau tidak dikasih nanti dicopot jabatannya. Ini orang yang punya kekuasaan kan itu," ujarnya.

Hal ini, lanjut Tanak, berbeda secara signifikan dengan delik suap. 

Dalam kasus suap, inisiatif justru datang dari pihak swasta atau bawahan yang tidak memiliki kuasa.

"Kalau nyuap, orang yang tidak berkuasa memberikan sesuatu kepada penguasa. Agar penguasa ini dapat memenuhi permintaan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Itu suap," paparnya.

"Nah dalam konteks ini inisiatif untuk mendapatkan anggaran dana itu dari gubernur, dari seorang pejabat yang punya kewenangan," simpul Tanak.

GELEDAH - Penggeledahan yang dilakukan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor Gubernur Riau, Senin (10/11/2025), tidak hanya menyasar ruang kerja di dalam gedung, tetapi juga kendaraan dinas pejabat tinggi Pemerintah Provinsi Riau.
GELEDAH - Penggeledahan yang dilakukan tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor Gubernur Riau, Senin (10/11/2025), tidak hanya menyasar ruang kerja di dalam gedung, tetapi juga kendaraan dinas pejabat tinggi Pemerintah Provinsi Riau. (Tribunpekanbaru.com/Syaiful Misgiono)

Penjelasan serupa disampaikan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu. 

Asep menyoroti bahwa permintaan yang dilakukan Abdul Wahid tidak memiliki dasar hukum dan secara verbal maupun non-verbal menimbulkan ketakutan bagi para bawahan.

"Permintaan memintainya, meminta tidak ada aturannya dalam undang-undang apapun. Nah secara apa namanya, verbal orang kan jadi takut nih kalau enggak ikut saya pindah dong," ujar Asep.

Asep menegaskan, dalam kasus suap, harus ada meeting of minds atau pertemuan keinginan antara si pemberi dan si penerima. 

Si pemberi memiliki niat aktif untuk mempengaruhi pejabat.

"Beda kalau misalkan saya mau naik pangkat, kemudian saya datanglah memberikan sesuatu, ada keinginan bertemunya keinginan si yang pemberi dan keinginan si yang menerima. Nah itu kalau suap," jelasnya.

"Nah kalau ini enggak. Dia si pejabat ini yang aktif yang meminta," jelas Asep.

( Tribunpekanbaru.com/ Tribunnews)

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved