Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Kasus Korupsi BUMD di Riau

Jumlah Uang Sitaan Korupsi BPR Indra Arta Inhu Terus Bertambah

Uang yang disita dari para nasabah BPR Indra Arta bermasalah oleh Kejari Indragiri Hulu jumlahnya terus bertambah

Penulis: Rizky Armanda | Editor: FebriHendra
Istimewa
SITA UANG - Penyidik jaksa Pidsus Kejari Inhu menunjukkan uang Rp 1 miliar yang berhasil disita dari nasabah bermasalah terkait korupsi BPR Indra Arta Inhu, beberapa waktu lalu. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Jumlah uang sitaan dalam kasus dugaan korupsi di Perumda BPR Indra Arta Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) senilai Rp 15 miliar, terus bertambah.

Uang ini disita dari para nasabah BPR Indra Arta bermasalah, yang mana tunggakan mereka menyebabkan kerugian keuangan negara.

Dalam kasus yang ditangani jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Inhu ini, sudah ada 9 orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Selain aspek penegakan hukum, jaksa juga berfokus pada penyelamatan keuangan negara.

Maka dari itu, jaksa memanggil dan memeriksa maraton 131 nasabah yang menunggak pinjaman.

Baca juga: Kasus Korupsi BPR Indra Arta Inhu Rp15 M, Kejari Inhu Minta 131 Nasabah Kooperatif Kembalikan Uang

Baca juga: Jaksa Sita Uang Rp1 Miliar Terkait Korupsi Perumda BPR Indra Arta Inhu

Meskipun proses penyidikan tengah berjalan, kejaksaan tetap membuka kesempatan bagi para nasabah ini untuk menunjukkan itikad baik dengan segera mengembalikan pinjaman mereka.

Upaya pemulihan kerugian negara ini telah membuahkan hasil awal, di mana jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Inhu, telah menyita uang senilai Rp 1.082.824.500 dari pengembalian yang dilakukan oleh 17 nasabah.

Uang yang disita tersebut kini dititipkan dalam rekening penampungan Kejari Inhu.

Kini masih ada Rp 14 miliar lagi yang ditargetkan jaksa juga dapat disita.

Kasi Intelijen Kejari Inhu Hamiko mengungkap, hingga kini prosesnya masih berjalan. Jumlah uang sitaan juga terus bertambah.

“Ada (penambahan), jumlahnya bergerak terus,” katanya, Jumat (17/10/2025).

Hamiko menerangkan, jumlah penambahan uang hasil pengembalian nasabah masih dihitung. Ia bilang, jumlahnya cukup signifikan dari jumlah terakhir yang disampaikan beberapa waktu lalu, sebesar Rp 1 miliar.

Ia mengimbau, kepada para nasabah untuk dapat mengembalikan semua tunggakan.

Uang yang telah dan akan dikembalikan ini nantinya akan disita dan menjadi alat bukti di pengadilan. 

Langkah strategis untuk menyelamatkan keuangan negara, dan hasil sitaan tersebut pada akhirnya akan dikembalikan kepada asal uangnya.

"Kalau terkait kasus ini, uang akan dikembalikan ke kas daerah (Inhu)," ujar Hamiko.

Proses pemeriksaan nasabah juga bertujuan untuk mendalami adanya indikasi kongkalikong antara mereka dengan pihak internal BPR Indra Arta, yang terbukti dalam skema korupsi melalui pemberian kredit fiktif, penggunaan agunan yang tidak diikat, hingga pencairan pinjaman yang tidak sesuai prosedur yang berlangsung dari tahun 2014 hingga 2024.

Hamiko menuturkan, pengembalian yang dilakukan oleh nasabah, tentunya untuk kepentingan mereka sendiri. Utamanya, agar terhindar dari konsekuensi hukum yang dapat menjerat mereka ikut menjadi tersangka.

Menurutnya, dalam hal ini jaksa memberi kesempatan terhadap nasabah untuk dapat menunjukkan itikad baik mereka agar dapat mengembalikan uang terkait dugaan korupsi yang telah mereka terima.

“Selama proses pemeriksaan ini berjalan, mereka ada kesempatan mengembalikan,” sebut Hamiko.

Sebelumnya, Plt Kepala Kejati (Kajati) Riau, Dedie Tri Hariyadi mengungkap, 9 tersangka dalam kasus ini, diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1, juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

“Dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” ungkap Dedie, saat ekspos kasus, Kamis (2/10/2025).

Sembilan orang tersangka ini, juga langsung menjalani proses penahanan pada hari ini.

Plt Kajati Riau menyebut, langkah ini dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah proses penyidikan kasus ini.

“9 tersangka tersebut dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II B Rengat untuk 20 hari ke depan, sesuai dengan surat perintah penahanan Perintah Penahanan masing-masing,” ujar Dedie.

Lanjut dia, sebelum dilakukan penahanan, 9 tersangka menjalani proses pemeriksaan kesehatan. Hasilnya, mereka semua dinyatakan sehat.

Korupsi yang berlangsung dari tahun 2014 hingga 2024 ini, diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp15 miliar.

Dedie menjelaskan, masing-masing tersangka memiliki peran vital dalam skema korupsi ini. 

Para tersangka berasal dari berbagai posisi, mulai dari level direktur, pejabat eksekutif, account officer, kasir, hingga debitur.

Berdasarkan hasil penyidikan, para tersangka terbagi dalam peran yang berbeda. 

SA, Direktur Perumda BPR Indra Arta, dan AB, Pejabat Eksekutif Kredit, memiliki peran sentral. 

Keduanya menyetujui pemberian kredit kepada para debitur meskipun mengetahui bahwa pengajuan tersebut tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Keputusan ini secara langsung menyebabkan kredit macet dan penghapusan buku (hapus buku) yang merugikan bank.

Sementara itu, lima account officer, yaitu ZAL, KHD, SS, RRP, dan THP, gagal menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka dalam memproses pengajuan kredit.

Mereka mengabaikan peraturan yang berlaku, yang berujung pada kredit macet dan hapus buku.

Dugaan korupsi ini juga melibatkan dua tersangka lain dengan peran spesifik. 

RHS, seorang teller dan kasir, diduga melakukan pencairan atau pengambilan deposito nasabah tanpa persetujuan. 

Kemudian, KH, seorang debitur, diduga bekerja sama dengan account officer untuk mencairkan pinjaman menggunakan nama orang lain.

Modus operandi yang digunakan para tersangka sangat beragam dan terstruktur. 

Mereka diduga secara bersama-sama memberikan kredit fiktif dengan cara menggunakan nama orang lain, menjadikan agunan yang tidak diikat hak tanggungan, dan tidak melakukan survei kelayakan terhadap pengajuan kredit.

Selain itu, ditemukan pula praktik pemberian kredit di atas nilai agunan, pemberian pinjaman kepada debitur yang bermasalah, serta pengambilan deposito nasabah tanpa izin.

“Akibat dari tindakan ini, terjadi kredit macet pada 93 debitur dan hapus buku pada 75 debitur, yang secara keseluruhan menyebabkan kerugian negara Rp15 miliar,” terang Dedie.

Ia menerangkan, proses hukum terhadap para tersangka kini terus berjalan.

Jaksa masih mendalami kasus ini untuk menemukan kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat.(tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved