KPK OTT Dinas PUPR Riau
Badai Korupsi Belum Berlalu
KPK melakukan OTT yang menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid pada Senin (3/11/2025), sekaligus menambah panjang daftar Gubernur Riau yang ditangkap KPK
Penulis: Erwin Ardian1 | Editor: FebriHendra
Badai Korupsi Belum Berlalu
Oleh: Erwin Ardian
Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru
RIAU kembali diguncang kabar memilukan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Pekanbaru yang menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau, Arief Setiawan.
Kantor Dinas PUPR di Jalan SM Amin bahkan digeledah selama lebih dari lima jam, dan sejumlah berkas serta barang bukti turut diamankan.
Kejadian ini menambah panjang daftar pejabat Riau yang ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Ironisnya, ini bukan kali pertama Riau mencatat sejarah kelam seperti ini. Dalam dua dekade terakhir, sudah tiga gubernur Riau ditangkap KPK — Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun.
Bahkan pada 2024 lalu, Penjabat Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa juga terjaring OTT. Fakta ini menegaskan bahwa praktik korupsi di Riau bukan sekadar persoalan oknum, melainkan sudah menjadi pola yang berulang dan mengakar dalam sistem birokrasi.
Kasus yang melibatkan dinas PUPR juga bukan hal baru. Sektor infrastruktur selalu menjadi lahan subur penyimpangan karena nilai proyeknya yang besar dan pengawasannya yang lemah.
Mulai dari pengadaan jalan, jembatan, hingga tata ruang, seringkali dijadikan ladang keuntungan bagi segelintir pihak yang memanfaatkan celah prosedural.
Jika dugaan ini benar, maka Riau kembali gagal menunjukkan reformasi birokrasi yang bersih dan akuntabel.
Publik Riau tentu lelah mendengar kabar semacam ini berulang kali. Setiap pergantian pejabat disertai janji transparansi dan integritas, namun realitasnya, pola korupsi tetap berulang.
Bahkan, OTT kali ini menyeret pejabat tertinggi di provinsi — sosok yang seharusnya menjadi teladan moral bagi seluruh aparatur di bawahnya.
Situasi ini menimbulkan krisis kepercayaan yang semakin dalam antara masyarakat dan pemerintah daerah.
Dampak dari kasus korupsi bukan hanya pada rusaknya citra pemerintahan, tetapi juga berimbas langsung pada pelayanan publik.
Proyek infrastruktur bisa terbengkalai, dana pembangunan tersedot ke kantong pribadi, dan masyarakat kecil kembali menjadi korban.
Ketika uang rakyat diselewengkan, maka jalan berlubang, banjir, dan kesenjangan pembangunan bukan sekadar masalah teknis, tetapi konsekuensi dari moralitas yang runtuh.
KPK menjalankan tugasnya dengan tegas, namun penegakan hukum saja tidak cukup. Riau butuh revolusi mental dalam birokrasi dan budaya politiknya.
Penegakan integritas harus dimulai sejak proses rekrutmen ASN, pemilihan pejabat, hingga pembentukan sistem pengawasan internal yang kuat.
Tanpa itu, setiap upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi pemadam kebakaran yang bekerja setelah api sudah membesar.
Pemerintah pusat juga harus mengevaluasi secara serius sistem pengawasan terhadap daerah. Banyak pejabat daerah yang memiliki kewenangan besar dalam mengatur anggaran, namun minim pengawasan yang efektif.
Mekanisme audit internal dan eksternal seringkali bersifat formalitas. Padahal, transparansi anggaran publik — termasuk akses masyarakat terhadap data proyek dan belanja daerah — adalah kunci mencegah penyimpangan sejak dini.
Masyarakat sipil dan media juga punya peran penting. Pers harus terus menjadi mata dan telinga publik, mengungkap praktik-praktik kotor yang merugikan rakyat.
Lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan tokoh agama mesti bersuara lantang, agar korupsi tidak lagi dianggap “hal biasa” dalam budaya pemerintahan kita. Pengawasan sosial harus menjadi gerakan bersama.
Momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi Riau. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu segera memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih melalui sistem digitalisasi pengadaan, pelaporan keuangan terbuka, dan audit publik berbasis masyarakat.
Reformasi birokrasi bukan sekadar slogan, tapi harus diterjemahkan dalam mekanisme nyata yang mengurangi ruang gelap korupsi.
Riau memiliki potensi besar: sumber daya alam melimpah, posisi strategis, dan masyarakat yang kritis. Namun potensi itu tidak akan berarti jika terus dikubur oleh praktik korupsi yang berulang.
Sudah saatnya Riau belajar dari masa lalu dan menutup babak suram korupsi. Pemerintahan yang bersih bukan sekadar tuntutan moral, tetapi prasyarat utama bagi masa depan daerah yang maju dan bermartabat. Semoga badai korupsi segera berlalu dari Riau. (*)
| Besok, KPK Akan Bawa Gubernur Riau Abdul Wahid ke Jakarta Bersama 9 Orang yang Ditangkap |
|
|---|
| Saat Penggeledahan KPK, Kantor Dinas PUPR Riau Lengang |
|
|---|
| Empat Gubernur dan Cermin Buram Kepemimpinan Riau |
|
|---|
| Rumah Dinas Gubernur Riau Mendadak Sepi Usai Kabar OTT KPK Mencuat |
|
|---|
| Abdul Wahid Menjadi Gubernur Ke-4 Riau yang Berurusan dengan KPK |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/Pemred-Tribun-Pekanbaru-Erwin-Ardian.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.