Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Unjuk Rasa Terkait Lahan TNTN

Menjaga Komitmen Negara di Tengah Polemik Alih Fungsi Lahan TNTN

Sejak awal, alasan pengambilalihan lahan oleh Satgas PKH adalah untuk menormalisasi TNTN menjadi hutan alami.

Penulis: Alex | Editor: M Iqbal
Foto/Istimewa
Rais Hasan Piliang SH. MH. CLA - Praktisi Hukum Riau 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU -- Isu ini bukan sekadar soal tata kelola lahan, tetapi menyangkut komitmen negara terhadap prinsip hukum, kemanusiaan, dan transparansi. Pemerintah harus kembali kepada janji awal, mengembalikan ekosistem hutan yang selama ini rusak oleh ekspansi perkebunan sawit ilegal dan aktivitas ekonomi yang tidak terkendali.

Sejak awal, alasan pengambilalihan lahan oleh Satgas PKH adalah untuk menormalisasi TNTN menjadi hutan alami. Argumen ini tentu mendapat dukungan publik karena pada dasarnya negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memulihkan fungsi ekosistem. 


Namun ketika muncul kabar bahwa sebagian lahan itu akan dikelola oleh salah satu BUMN bidang perkebunan sawit, publik wajar mempertanyakan konsistensi pemerintah. Jika tujuan awal adalah restorasi hutan, mengapa kini muncul rencana yang berpotensi membelokkan niat tersebut?


Pemerintah harus berhati-hati, karena isu ini menyangkut kehidupan banyak orang. Ribuan warga yang selama puluhan tahun bermukim di kawasan itu, dengan sekolah, fasilitas publik, dan kehidupan sosial yang sudah terbentuk, sedang menjalani proses relokasi. 


Relokasi adalah persoalan kemanusiaan yang sangat sensitif. Kesalahan sedikit saja dapat berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Negara tidak boleh sekadar memindahkan warga tanpa memastikan bahwa kehidupan mereka setelah relokasi tetap layak, aman, dan manusiawi.


Jika benar BUMN tersebut akan mengambil alih kebun sawit di TNTN, maka itu adalah kabar yang tidak fair bagi masyarakat. Narasi bahwa lahan tersebut akan dikembalikan menjadi hutan tidak boleh dibelokkan menjadi agenda bisnis. 


Pemerintah harus menjawab secara terbuka, apakah komitmen restorasi hutan masih berlaku, ataukah kini berubah menjadi rencana komersialisasi? Ketiadaan kejelasan inilah yang memantik protes warga dan memunculkan asumsi buruk terhadap pemerintah.


Kita harus mengingat bahwa bisnis, apalagi bisnis negara, tidak boleh bertentangan dengan hak-hak warga. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan praktik bisnis yang mengabaikan keadilan sosial. Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi wajib memastikan bahwa setiap kebijakan alih fungsi lahan mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak atas tempat tinggal, akses pendidikan, dan jaminan hidup yang layak.


Dalam konteks hukum, negara berkewajiban memenuhi prinsip free, prior and informed consent dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada masyarakat. Artinya, warga harus diberi penjelasan yang lengkap, bukan hanya sekadar diberitahu belakangan. Mereka berhak mengetahui ke mana mereka akan dipindahkan, seperti apa kondisi tempat tinggal baru, dan apa rencana jangka panjang pemerintah terhadap lahan yang mereka tinggalkan.


Pemerintah juga perlu menyediakan solusi yang tepat, bukan solusi instan. Restorasi hutan adalah agenda jangka panjang yang memerlukan kehadiran negara secara penuh. Jika memang lahan TNTN akan dikembalikan menjadi hutan, maka konsekuensinya negara harus menanggung seluruh biaya sosial, ekonomi, dan ekologis dari keputusan tersebut. Jangan sampai alasan lingkungan hanya dijadikan pintu masuk untuk kepentingan bisnis yang tidak berpihak pada rakyat.


Pada titik tertentu, polemik ini memperlihatkan ketegangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Peran negara adalah memastikan kepentingan rakyat tidak dikorbankan demi ambisi bisnis atau proyek ekonomi tertentu. Keseimbangan inilah yang harus dijaga dalam setiap kebijakan publik, terutama yang menyangkut tanah, lingkungan, dan ruang hidup masyarakat.


Keputusan apa pun terkait TNTN harus benar-benar menempatkan hak asasi manusia sebagai prioritas utama. Masyarakat bukan objek kebijakan yang dapat dipindahkan sesuka hati. Mereka adalah warga negara yang hak-haknya dilindungi oleh konstitusi. Pemerintah wajib memastikan bahwa setiap langkah di lapangan selaras dengan prinsip tersebut.


Jika pemerintah ingin mengembalikan TNTN menjadi hutan, maka lakukanlah dengan benar, transparan, dan manusiawi. Jika tidak, maka gerakan masyarakat yang hari ini beriak bisa menjadi gelombang besar yang mempertanyakan integritas negara dalam menjalankan amanahnya. Restorasi hutan adalah cita-cita mulia, tetapi hanya dapat dicapai jika keadilan, kemanusiaan, dan hukum menjadi fondasi yang dijunjung tinggi. (Tribunpekanbaru.com/Alexander)
 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved